Pages

Minggu, 05 Januari 2014

Satu Titik Sadar di Gunung Manglayang

Sebelum mengobat rindu ke kampung halaman dan menikmati euforia penutup tahun, bolehlah sejenak berteriak melepas beban sembari menyaksi lanskap Sumedang dan Bandung dari ketinggian. Kehendak hati pergi ke gunung yang mudah untuk didaki, namun ternyata medan yang dilalui berkata sebaliknya.

lanskap Sumedang dari Puncak Bayangan Manglayang

Meski kata orang Manglayang via Jalur Baru Beureum memberi janji pemandangan menakjubkan, kami harus membayarnya dengan trek menantang ibarat pertandingan final Piala Dunia: ketegangan ada sepanjang pertandingan. Tak pernah ada celah untuk menikmati jalan mendatar apalagi menurun seperti Gunung Burangrang tempo hari.

Manglayang berada di kawasan sekitar Jatinangor, Sumedang yang berdiri pula di dekatnya gunung-gunung tidak tinggi yang terhiasi pemukiman penduduk. Terdapat beberapa jalur yang boleh dipilih untuk mencapai puncak, diantaranya Jalur Baru Beureum, Jalur Ujung Berung, dan Jalur Buper Batu KudaRombongan saya memilih Jalur Baru Beureum karena menurut riwayat, jalur ini banyak menjanjikan “ramuan pengusir lelah” di sepanjang perjalanan.

Berangkat dari pusat kota Bandung, kami langsung bergerak menuju Jatinangor, melewati dua universitas besar dan bumi perkemahan Kiarapayung. Biasanya, para pejalan akan berhenti di sekitar Unpad dan naik ojek dengan biaya Rp20.000 untuk sampai di depan Gapura Ciloa. Dari gapura ini, kita mesti berjalan selama setengah jam hingga menemukan warung yang menjadi titik nol pendakian. Menariknya, tidak ada biaya retribusi bila ingin mendaki Manglayang. Secara implisit, kita hanya perlu beramah ramah mengucap permisi dengan penduduk lokal perjalanan sebagai “ucapan terima kasih”.

gapura Ciloa

titik nol pendakian


Titik nol dimulai dengan persimpangan: arah kanan akan menuju bumi perkemahan, sedang kiri adalah arah yang mesti kita tuju untuk kemudian bertemu dengan satu-satunya sumber air di trek pendakian. Silahkan menikmati, namun akan lebih berkesan jika Anda bermain air selepas menggenggam puncak Manglayang.

Setelah mengambil alur jalan arah kanan, tenang saja, Anda hanya akan menempuh jalur satu dan pasti:PASTI TANJAKAN. Berbeda dengan Burangrang ataupun Papandayan yang berlimpah bonus, trek menurun di Manglayang hanyalah mitos. Saya jadi teringat dengan trek Gunung Salak yang memiliki medan serupa.

satu dan pasti: PASTI TANJAKAN

Tak hanya tanjakan yang menjadi tantangan, namun kondisi medan yang licin dan berhias duri juga menjadi pokok pikiran selama pendakian. Maka dari itu saya sarankan untuk memakai lengan panjang selama perjalanan. Beberapa teman yang baru pertama merasakan serunya pendakian cukup mengalami kewalahan. Mereka ini begitu sering merangkak seru karena sulitnya medan dan elevasi. Namun tenang saja, kualitas trek berbanding terbalik dengan durasi. Bila Anda menemukan plang IPDN seperti gambar di bawah ini, maka Anda hanya butuh 15 menit lagi langkah kaki untuk mencapai puncak bayangan, yang malah banyak menjadi destinasi akhir para pendaki.
plang dari IPDN

Mengapa menjadi favorit, alasan utamanya tentu ialah pemandangan 180 derajat lanskap Sumedang dan Bandung dari ketinggian lumayan. Lampu kerlap-kerlip sejenak menghipnotis dan melucuti kelelahan kami akibat pertarungan dengan medan. Terlihat di kejauhan Gunung Geulis (dalam bahasa Sunda berarti “cantik”) yang tampak hitam legam seorang diri dikelilingi gerlap penerangan rumah penduduk di kaki-kakinya. Di tempat ini kami mendirikan tenda. Perlu menjadi catatan bahwa, puncak bayangan hanya menyediakan lahan untuk dua tenda ukuran sedang. Selebihnya berupa jalan memanjang yang kanan kirinya jurang dalam (saya belum dan tak berniat mengecek kecuramannya).

lights in the memorable night


Puncak Bayangan yang memanjang sempit

sesempitan dalam tenda

Atau terdapat alternatif lain, Anda perlu melewati jalur ke kanan sejenak untuk menemukan sebidang sempit tanah lapang. Namun lebih baik ketimbang berkemah di puncak bayangan yang setelah saya ketahui  bagian pinggir tempat kami bertenda tanahnya sudah retak dan nyaris longsor. Tinggal 'menunggu waktu'. Beruntung saat malam, angin yang bertiup begitu kencang saat dini hari pukul dua yang membuat kami semua terbangun dan berdoa agar angin tak sampai menerbangkan tenda.

Kontras. Semalam saat kami datang, angin bergerak tenang merangkaki bukit dan menyusuri lembah sehingga kami bisa sembahyang di luar tenda dan membuat hindangan khas dunia daki:mie plus sarden dengan taburan kacang atom yang menggugah selera. Namun semuanya menjadi berbeda ketika gelegar angin menyerang. Ketika dini hari,bebunyian angin sepeerti air terjun membangunkan kami dan membuat jantung berdegub kencang. Beruntung bayangan yang tidak-tidak dalam pikiran kami tidak pernah terbukti. Kami menjumpai titik sadar di benak kami bahwa kami ini kecil.

Bila gelegar angin surut ketika matahari datang, kami sempat merencanakan untuk berjalan ke titik tertinggi. Namun rencana ini urung dilakukan. Meski telah cerah, angin tetap saja bergemuruh, ditambah beberapa teman yang mulai tak enak badan. Saran saya, jika mau lakukan perjalanan Manglayang ini pada musim cerah. Adalah keputusan terbaik untuk segera berkemas dan turun. Rute pulang ditempuh dalam waktu yang sama yakni 1 jam 40 menit. Seharusnya lebih cepat, namun karena medan yang licin, apaboleh buat kami tak bisa berlari.

meluncur di trek menurun selamanya

sungai mungil di awal jalur

Seperti semula saya katakan, di awal jalur pendakian terdapat sungai mungil yang airnya deras mengalir. Inilah saat yang tepat untuk menikmati sembari membilas pakaian, badan dan alas kaki. Beruntung pula, pagi itu Warung Bu Ipah sudah buka. Karena saat kami tiba kemarin, Warung Bu Ipah masih tutup. Tak ada manusia di area titik nol ini.
Bu Ipah dan penulis

Sekadar info, Bu Ipah ini sudah 14 tahun berjualan di titik nol pendakian Manglayang. Sekali waktu anak beliau menjemput dengan sepeda motor untuk membawa beliau ke rumah ataupun berbelanja dagangan. Berbagai camilan dan minuman hangat dijual dengan harga yang wajar, sama seperti warung pinggir jalan pada umumnya. Sebenarnya ada pula warung di seberang Warung Bu Ipah, namun hanya buka Sabtu-Minggu. Di samping Warung Bu Ipah, ada mushola yang cukup besar, selain sembahyang cukup untuk menaruh carrier, berganti pakaian, bahkan merebahkan diri bersama-sama.
tempat istirahat&sembahyang yang cukup luas

melepas lelah di warung Bu Ipah

way to home

Perjalanan pulang harus diawali dengan berjalan pula, masih dengan waktu tempuh 30 menit untuk bersua dengan tukang ojek yang duduk manis menunggu di depan gapura Ciloa. Untuk perjalanan turun ini, silahkan Anda tawar hingga 15 ribu untuk rute gapura Ciloa-halte Damri. Sebagai penutup, bolehlah menjelajahi Jatinangor, bersantap siang di sana, merasai betul silir damai angin Sumedang sebelum berpulang.



6 komentar:

  1. pertamakalinya saya baca blog ini :) keren banget Wan! ngiri sama keahlianmu merangkai kata. Lanjut nulisnya masbro!

    BalasHapus
  2. makasih Nau :) ditunggu kritik sarannya :) blogmu apa? mungkin bisa baca sewaktu-waktu, hehe

    BalasHapus
  3. keren! suka banget keadaan malam dari atas sana!!!

    BalasHapus
  4. terima kasih..o ya salam kenal :) Mixer Blog-nya keren euy berwarna, haha

    BalasHapus
  5. mantap bro !!!
    kalo pengen nyoba jalur lain selain ke tiga jalur diatas bisa dibuka disini http://atrokpenmbusrimba.blogspot.co.id/2016/02/rute-jalur-gunun.html

    BalasHapus
  6. Casino - drmcd
    The Casino.com staff 양주 출장안마 reviews and their experience with 문경 출장샵 the Slots, Roulette, Blackjack, Video Poker, and 여주 출장안마 more! Casinos 정읍 출장안마 – All our Casino Rewards members 포천 출장안마 can be used.

    BalasHapus