Pages

Selasa, 30 April 2013

Gede, Indonesian Rocky Mountain


Merasa perlu bagi kami melepasliarkan segala pening dan penat yang menghantui, dan dengan segala pertimbangan kami bertekad melepasbebaskannya di Puncak Gede, berketinggian 2.958 mdpl bersebelahan dengan awan Kumulus, terpayungi Sirostratus–yang kadangkala membuat rembulan terdispersi sempurna.

Empat belas orang pada pagi benar berangkat menuju pintu gerbang basecamp Mandalawangi, sebuah tempat di Cibodas, empat jam perjalanan dari Kampus Insan Cendekia.

#1 Briefing
Dalam perjalanan ini kami bergabung dengan komunitas REPALA, sebuah komunitas pecinta alam yang telah berumur 41 tahun, yang beranggotakan salah seorang guru kami. Sekitar pukul 10 pagi kami melakukan pemanasan ringan dan menerima pengarahan umum dari bapak-bapak senior.
Basecamp Mandalawangi ini terasa begitu riuh dan bersahabat. Banyak dijumpai warung makan, penjaja souvenir–gantungan kunci, kaktus, kaos–toilet umum, dan kantor TN Gede Pangrango. Mobil-mobil terparkir rapi bersebelahan dengan kolam luas yang di tengahnya terdapat air mancur. Benar-benar terurus. Sekitar pukul 10 lewat 15 menit kami telah siap berjalan menaklukkan 4 pos menuju puncak tertinggi gunung yang katanya menjanjikan panorama indah ini.


#2 Cibereum
Butuh 50 menit berjalan dengan kecepatan sedang untuk mencapai pos satu ini. Jalanan selebar 4 kali lebar orang dewasa dipenuhi bebatuan ukuran sedang. Cukup ramah untuk pendaki amatiran. Ketika sampai, banyak pendaki sedang beristirahat untuk sekadar meneguk air. Sampai di sini medan masih terhitung ringan.
beristirahat di Cibereum

#3 Cipanas
Menuju pos dua, jalan masih didominasi bebatuan yang tersusun rapi namun sedikit ada bebatuan runcing. Setelah berjalan tiga jam, akhirnya kami mendapati tanah yang tak terlalu lapang bertuliskan air panas. Terdengar dari areal ini suara air terjun yang ketika kami cek, berjarak sekitar 15 meter dari pos pemberhentian ini. Di sini kami mengisi ulang energi yang mulai berkurang signifikan karena telah berjalan selama kurang lebih 4 jam. Memakan beberapa snack ringan dan memasak mi instan menjadi pilihan.
sampai di Cipanas

disambangi bule korea
bebanku tak seberat cintamu kepadaku
#4 Kandang Batu
Tidak seburuk yang dibayangkan, belum genap 15 menit pun kami telah mencapai pos Kandang Batu. Meski masih jauh dari puncak, namun telah banyak pendaki yang mendirikan tenda di pos ini. Di fase kali ini, perjalanan mulai dihambat dengan hujan sehingga kami harus mengurangi kecepatan berjalan menuju pos berikutnya, Kandang Badak yang menurut pendaki lain yang kami papasi, lebih ramai dari Kandang Batu ini.
orang-orang mengemasi perbekalan

#5 Kandang Badak
Saya pikir ini lebih mirip perkampungan di tengah hutan. Begitu banyak tenda didirikan, hingga beberapa harus mencari tempat yang agak jauh dari tanah lapang utama Kandang Badak, termasuk kami yang berempat belas. Kami terus saja menanjak ke atas hingga persimpangan menuju Puncak Gede dan Puncak Pangrango. Kami bersembahyang di sana dan harus bertahan dengan kondisi dingin hingga esok dini hari saat melanjutkan perjalanan menuju puncak. Di sini kami beristirahat dalam tenda, menanak nasi dengan peralatan seadanya, menyeduh sereal sebagai penghangat, dan menyantap perbekalan yang masih tersisa.
hiruk pikuk Kandang Badak

sembahyang di tempat seadanya, alas seadanya

#6 Puncak Gede, Sebuah Klimaks
Empat pemberhentian telah tertaklukkan, kini saatnya mencapai inti dari sebuah pendakian. Di perjalanan kami terpisah menjadi tiga kelompok, sehingga kami mencapai puncak dengan tenggat waktu yang berbeda-beda apalagi dengan kondisi gerimis yang membumbui perjalanan di menit-menit awal. Jalanan? masih saja dipenuhi bebatuan yang bervariasi ukuran dan bentuknya. Memang tak berlebihan bila Gede kami juluki Indonesian Rocky Mountain

sunrise

Janji Gunung Gede tertepati, bahwa panorama alamnya sungguh mempesonakan. Puncak Gede bukan berbentuk tanah lapang, namun sebuah jalan panjang berpasir beratus meter panjangnya. Di sisi kiri banyak mengepul asap kawah berwarna putih susu, di sisi kanan terhampar padang Edelweiss yang sayang sekali belum kuncup apalagi mekar, arah barat jauh yang terpasak dengan kokoh membundar Puncak Pangrango, harmoni “perkampungan” Suryakencana yang terlihat dari kejauhan dan tentu saja pemandangan emas mentari saat terbit yang memancarkan warna jingga terang.

Puncak Gede yang memanjang


seorang teman sedang mencari "tempat aman" membuang limbah

komplek Suryakencana

Kami bercanda sambil kedinginan. Memakan beberapa bungkus makanan yang tersisa dengan badan begetaran. Seorang teman yang cukup besar badannya berusaha  melepaskan beban usus besarnya di ketinggian–merupakan sebuah pencapaian prestisius. Terus mencuci mata dengan panorama yang tersaji meski angin bertiup bersama kabut yang sesekali naik. Menyantap coklat batang berbutir kacang mede dan dark chocolate dengan aroma kulit jeruk: Monggo Chocolate asli Yogyakarta. Dan tentu saja agenda wajib, berfoto dengan berbagai lanskap dan gestur.
sebagai penanda

#7 Santai turun puncak
Tidak seperti perjalanan mendaki yang terkesan penuh peluh perjuangan, prosesi menuruni gunung ini kami lakoni dengan berjalan cepat namun perasaan begitu santai. Rasa lelah seolah-olah telah menemui penawarnya, yakni panorama yang sesaat memanjakan kami di puncak tadi. Total perjalanan menuju basecamp sekitar 3,5 jam jika waktu bersenang-senang tidak diikutsertakan.
air terjun mungil

air terjun Cibereum

singgah sejenak di Kandang Badak

suasana turun

Sengaja kami melunasi piutang menyambangi beberapa spot menarik yang kami lewatkan saat perjalanan mendaki. Ada tiga air terjun dan satu sumber air panas yang kami nikmati pada perjalanan pulang ini sambil menguras isi carrier dan ransel yang masih berisi makanan. Sempat pula kami berjumpa dengan environtmentalis (pecinta lingkungan)  di spot Cipanas yang mengajak kami membersihkan lingkungan hutan dari sampah yang berserakan.
bersama Pak Budi, pendamping dari REPALA

mengumpulkan sampah, tanda anak gunung sejati

Dan dengan ini segala pening dan penat telah secara sempurna terlepasliarkan.

Garut: Kita Nikmati yang Ada

Berulang kali dituturkan, studi kolaboratif tahun ini merupakan perjalanan senang-senang bersama terakhir kami, Foranza Sillnova. Ketika Garut diputuskan menjadi destinasi, ada saja yang meragukan:di Garut ada apa. Bertemu dengan domba badan besar itu? Namun dalam hati saya berkata, “Sudahlah, kita nikmati saja yang ada, bersama orang-orang yang memberi warna pada masa mudamu ini.”


Lima jam perjalanan darat mulai pukul 3 pagi, untuk enam target yang disambangi dalam tempo dua hari dua hari jalan-jalan ringan tanpa beban yang bahagia dan menyenangkan.

PTLP Kamojang
Pertama kali menginjakkan kaki, kami langsung disambut bau belerang yang cukup berasa. PT Indonesia Power merupakan pembangkit listrik geothermal pertama di Indonesia yang berdiri pada 1983 yang katanya akan direvitalisasi pada dua tahun yang akan datang. Menyuplai listrik untuk sebagian wilayah Bandung Selatan, Bogor, dan tentunya Garut. Kami diberi penjelasan sebentar oleh bapak-bapak bersetelan hitam dan berhelm putih yang tampak sangat senior.




Bahwa reservoir yang memberi energi untuk pembangkit ini berada di kedalaman 1.700 meter dari permukaan, terdapat 25 titik sumur pengeboran milik Pertamina yang akan menghasilkan 1.200 ton uap tiap jamnya, yang dari uap itu akan menghasilkan listrik 140 ribu kW.


TWA Kamojang
Beberapa kawah dapat ditemukan dengan karakternya masing-masing. Kawah Kereta Api yang bertekanan gas tinggi, yang ketika bambu diletakkan di atas lubang kawah, akan terdengar suara kereta uap jaman Belanda. Kemudian Kawah Hujan, yang menurut cerita bahwa dulunya uap yang dihasilkan dapat menimbulkan hujan ringan. Walau menurut logika keilmuan saya belum bisa menerima, namun mungkin memang benar-benar terjadi. Yang terakhir adalah Kawah Baru, dinamai “Baru” karena kawah ini merupakan kawah pindahan dari kawah yang lain.



Sumber Alam
Mendengar percakapan beberapa teman, saya kaget bahwa ternyata SumbeAlam merupakan satu dari 25 resort paling romantis di Indonesia. Saya langsung menaruh prasangka baik pada tempat ini yang memang saat saya datang, praduga saya benar adanya.



Fasilitas nyaman begitu memanjakan kami semua. Kolam renang air hangat tanpa kaporit, bungalow yang “mengapung” pada kolam teratai yang saat itu sedang bermekaran, restoran ala hotel berbintang dengan makan malam dan sarapan berlimpah, dan tempat berendam santai di tiap kamar. Di sana kami bermain beberapa game, termasuk membuat menara manusia untuk merengkuh bendera angkatan yang diikat di atas tanah lapang. Juga Farewell Party pada malam hari dengan beberapa kejutan, salah satunya adalah Ibu Rene yang mendendangkan “Terajana” di depan anak didiknya.








Akar Wangi
Adalah rumah souvenir yang berkonsentrasi pada kerajinan akar wangi yang berbau khas. Beberapa teman tertarik dan antusias membeli cenderamata mungil untuk adik absen mereka atau seseorang spesial.

Dodol Picnic
Kami berkunjung di perusahaan dodol yang (mungkin) paling tersohor di Garut. Lansung saja kami disambut dengan berpiring dodol yang ditaruh pada meja bersusun panjang. Kami hanya menerima penjelasan singkat tanpa berkeliling melihat proses produksi. Yang saya kagetkan adalah, ketika sesi penjelasan berakhir kami diberi semacam muhasabah atau siraman rohani dengan iringan musik Kitaro. Dan lagi, perusahaan dodol ini menjadi sponsor olahraga balap sepeda. Ternyata setelah  dijelaskan, anggota keluarga dari penerus perusahaan ini menggemari olahraga balap sepeda. Kunjungan ditutup dengan belanja oleh-oleh beraneka rupa.

Chocodot
Terlihat di samping gerai Chocodot (Chocolate Dodol Garut) seorang mas-mas yang berseragam sedang mendemonstrasikan cara membuat coklat yang dicampur dengan dodol. Karena saya bosan, saya langsung menuju outlet untuk melihat-lihat produk yang ditawarkan. Kreatifitas mereka begitu tinggi. Mulai dari coklat yang rasanya pedas hingga Coklat Enteng Jodoh. Hahaha, ada-ada saja Si Chocodot ini.

Sebuah perjalanan singkat Foranza Sillnova yang setidaknya bisa memberi sedikit memberi penyegaran pikiran pasca ujian. Semoga saja akan terus terkenang.

Selasa, 23 April 2013

Salak Hiking:No Mercy!

Kerap kali saya lihat, sesaat setelah momen krusial berakhir orang-orang akan berteriak lantang, mengekspresikan kebebasannya atas temali yang membelenggu sekian lama. Namun teriakan itu saya dan beberapa teman coba tahan, dan meneriakkannya di suatu tempat yang tinggi. Dan ternyata yang menjadi pilihan spontan adalah Gunung Salak. Sebuah nama yang berasal dari bahasa Sansekerta, “Salaka” yang artinya Perak. Memangnya ada perak di gunung ini? Ah tidak penting bagi kami.

Preambule

Karena badan masih belum bugar selepas bepergian, saya memutuskan untuk absen dari kondangan dua guru Bahasa Arab saya di Tasikmalaya. Namun paginya selepas Subuh, tiba-tiba saya diajak empat orang teman untuk mendaki Puncak Salak. Saya kaget, tapi langsung mengiyakan untuk berangkat pagi ini. Hitung-hitung pemanasan sebelum pendakian Gunung Gede 27-28 April nanti. Karena menurut praduga saya, gunung ini terkesan lebih easy terlihat dari ketinggian yang hanya 2.210 meter―oh tidak, saya salah dugaan. Cerita berlanjut.

berangkat diiring teman-teman
Persiapan sangat minim. Terlebih dahulu kami mengemasi perbekalan yang telah ada dan  melengkapinya di tengah perjalanan nanti. Beberapa perlengkapan vital telah masuk dalam ransel besar dan carrier. Pukul setengah 9 lebih kami berangkat dan selanjutnya singgah sebentar di Tanah Abang membeli perlengkapan dan logistik. Juga di Bogor, kami istirahat di besar dan masih melengkapi kekurangan yang masih bisa diingat.

Kami baru sampai di basecamp pendakian pukul setengah sembilan malam. Kami langsung melapor pada petugas Taman Nasional Halimun Salak. Peringatan mas-mas cukup membuat muka kami serius. Ia sangat menyarankan untuk tidak langsung menuju puncak pada malam hari. Lebih baik kami mendirikan tenda di hm 24 dan melanjutkan perjalanan esok hari. Oh ya, bagi yang tak paham, hm artinya hectometer(100m). Karena diantara kami belum ada yang berpengalaman mendaki Gunung Salak, mau tak mau kami harus menuruti nasihat mas-mas jagawana. Sekitar pukul 9 malam kami berteriak We are one, for Foranza.We are here, for Foranza. Foranza…Sillnova!.Yak, berangkatlah kami dengan izin-Nya.

Start!

Nol kilometer. Kami langsung disambut trek yang menantang. Lebar jalan yang kami lalui  hanya sekitar satu meter yang pada beberapa bagian telah sengaja diberi bebatuan sebesar dua kepalan tangan. Gelap malam memaksa kami berkonsentrasi pada jarak pandang satu meter di depan kami yang masih bisa diterangi lampu senter mungil murahan. Trek pemanasan ini seolah bertanya, “Kalian benar-benar ingin mendaki Puncak Salak?”, dan tekad bulat menjawab tegas:YA, TENTU SAJA.

Kami berjalan cepat sembari menghitung hm demi hm yang tertera pada pal hijau tertancap pada sisi jalan. Dua koma empat kilometer, satu setengah jam perjalanan. Kami sampai di spot BAJURI dan mendirikan tenda kuning. Sebagai seorang yang paling amatiran diantara yang lain, saya diajari cara mendirikan tenda ini. Cukup simpel.
 
mendirikan tenda di BAJURI

Anomali (calon) Dokter Hewan :D
 

Terjadi sebuah kejanggalan ketika seorang calon dokter hewan, teman saya Rowi yang takut dan menjelek-jelekkan salah satu hewan penghisap darah yang menempel di kaki-kaki kami, Pacet. Seharusnya teman saya ini bersahabat baik dengan semua jenis hewan, hahaha. Kami tidak merasakan sakit sedikit pun, tapi tetap saja darah segar kami berkurang tetes demi tetes dihisap binatang kecil hitam ini.

Kami tidur berdempetan dalam tenda mungil berukuran 2x2 meter, beralaskan matras hitam tipis, sambil memasang alarm Paramore-That’s What You Get pukul 3 pagi. Malam tidak terlalu dingin kami rasakan. Karena memang kami belum benar-benar berada di ketinggian.

Meleset, kami semua baru bangun pukul setengah empat pagi. Segera mengambil air wudhu dari sungai yang kebetulan hanya berjarak  25 meter dari lokasi camp. Lalu sembahyang khusyu dengan duduk dalam tenda, memohon kekuatan dan keselamatan pada Yang Maha Menguasai. Matahari terus beranjak, kami masih harus mengecas energi dengan memasak mie, menyeduh kopi dan coklat panas.

Pada sesi awal ini, kami menyadari bahwa persiapan kami kurang. Tidak ada obat merah dan plester luka untuk kaki kami yang terkena Pacet, sehingga darah di kaki teman saya, Ulum, terus keluar meski cengkeraman Pacet telah dilepaskan. Tidak ada sendok dan pisau untuk memasak.

Ini yang Ekstrim

Pukul setengah delapan kami mulai perjalanan inti yang ekstrim. Perhitungan mulai dari hm nol kembali. Pada hm-hm awal, kami menjumpai banyak medan lumpur yang bisa menghisap kaki hingga selutut. Beruntung, kami tidak terjebak lumpur sadis itu kecuali beberapa bagian sepatu saja yang terbenam. Setengah kilometer telah terlewati, kami memutuskan menaruh beban bawaan dengan menyembunyikan carrier dan tenda pada sisi kanan trek menuju puncak. Kami hanya membawa satu daypack berisi makanan, minuman, atribut angkatan, matras, kompor, dan keperluan penting yang diperlukan. Masih 4,4 kilometer. Perjalanan dilanjutkan.

jeda sejenak, minum air sungai yang segar tanpa rasa
Inilah alasan mengapa kami menyebut gunung ini tidak memberi ampun―no mercy bagi pendakinya. Medan menggila. Kombinasi jalan lumpur, berbatu tajam atau kadang-kadang sebesar teman angkatan saya yang paling jumbo, medan selebar 50 cm yang kanan-kirinya adalah benar-benar tebing curam bukan bohongan, hingga dinding batu berkemiringan 80 derajat yang untuk melintasinya kami harus dibantu dengan tali webbing yang kuat. Sebuah catatan penting, bahwa alas kaki selain sepatu mendaki sangat tidak dianjurkan untuk dipakai! Teman saya Bang Retas menjadi bukti nyata.

lihat kaki si kaos merah.hanya memakai sandal
Ia satu-satunya yang mendaki dengan sandal. Medan ekstrim ini membuat lajunya terhambat. Tak kuat lagi menahan, sandalnya pun putus dan ia harus bertelanjang sebelah kaki. Beruntung pada hm 32 kami menemukan sepasang sandal gunung yang putus sebelah, dan beruntung sandal yang masih bisa dipakai sebelah kiri ketika Retas sebelumnya kaki kirinya tak memakai alas.

Pada hektometer 40-an kami semakin bersemangat jalan cepat. Sempat ragu ketika hm 49 terlewati, kami belum melihat tanda-tanda puncak gunung. Akhirnya sebagai orang yang berada paling depan, ia diperintahkan untuk berlari mengecek apakah kami telah dekat dengan puncak ataukah masih jauh.

We are On the Top!
Teriakan Rowi terdengar, agar kami berjalan lurus dan kami akan mencapai puncak. Kecepatan berjalan semakin tinggi dengan daypack milik Galang tergendong kokoh(saya mendapat giliran terakhir membawa daypack). Dan ternyata puncaknya benar-benar ada. Alhamdulillah, akhirnya kita mencapai Puncak Salak 1.

We are one, for Foranza!

hormat pada Sang Saka Merah Putih
Pandangan pertama saya menerjemahkan, bahwa puncak salak tidak menawarkan view yang menawan, tapi ia menjanjikan medan yang ekstrim dan kesan yang sukar hilang dari ingatan.  Pohon tinggi berbunga merah pudar mendominasi Puncak Salak 1 ini. Beberapa puluh meter dari plang bertuliskan “PUNCAK SALAK I” terdapat beberapa bangunan semi permanen dan makam Embah Gunung Salak yang dibangun dengan sederhana. Tidak ada tanda-tanda pemujaan. Tapi kami juga tak tahu pasti.
i love my earth :)


makam Embah Gunung Salak, tak ada kesan mistis
Karena kekurangan air, kami meminta air tampungan hujan dari bapak-bapak yang sedang duduk bersantai. Bapak yang baik hati membolehkan kami mengambil namun hanya satu botol karena hari-hari ini hujan jarang turun. Setidaknya, kami bisa memasak mi instan dengan air ini. Hanya satu setengah jam kami berada di puncak. Menikmati suasana dengan makan kudapan seadanya:mi, roti tawar, kacang, dan coklat. Lalu sejenak, kami mengecas energi dengan  melelapkan diri barang 10 menit.

charge the energy
Hendak berangkat, kami bertemu dua orang bule bukan penutur Bahasa Inggris. Barangkali Jerman atau Prancis. Dingin. Mereka hanya tersenyum tanpa tegur sapa dengan aroma tubuhnya yang kurang familiar di penciuman kami. Terbiarkan berlalu, kami langsung melanjutkan perjalanan turun dengan setengah berlari. Di tengah perjalanan, hujan turun dan seketika menghambat laju kami yang semula relatif lebih cepat. Kami harus memakai ponco, dan berjalan dengan kecepatan sedang karena jalanan yang semakin licin, terlebih untuk jalan yang menjadi jalur air.

widih ada bule
Sedikit Musibah

Kami terpisah menjadi dua. Terpaut begitu jauh. Retas dan Galang tersesat, keluar dari jalur dan menuruni tebing. Akhirnya mereka diketemukan Rowi sementara saya dan Ulum melanjutkan perjalanan untuk mengecek carrier dan tenda yang pagi tadi kami sembunyikan. Kami sempat bingung mondar-mandir beratus meter, sebelum akhirnya diketemukan.

Gembira rasanya bertemu kembali dengan BAJURI, pos tempat kami mendirikan tenda. Sebentar saja duduk dan menyantap gula jawa, yang terkenal dengan kudapan yang dengan cepat dapat diubah menjadi energi. Kami telah mencapai kilometer 0 terhitung dari puncak gunung, masih ada 25 hm menuju pintu gerbang. Saat hari masih sore seperti ini, trek dapat ditaklukkan dengan sedikit lebih mudah. Terbukti, kami tidak berhenti minum sama sekali dan hanya berhenti untuk mengambil senter yang berangkali dibutuhkan.

Kesudahan Cerita

Pukul lima lebih empat puluh menit. KAMI MENCAPAI KILOMETER NOL.PINTU GERBANG. Menyudahi lelah kami yang sangat. Puji syukur kami panjatkan. Beberes sebentar di warung yang tak jauh dari pintu gerbang, menyantap nasi goreng dan teh hangat, dan membuat kesepakatan: “ Pengen ke Puncak Salak? Jangan ajak gua!”

kondisi pasca pendakian.alhamdulillah masih utuh

melepas lelah dan lapar di warung khas pegunungan
Terima kasih saya ucapkan pada empat partner saya, juga orang-orang yang dengan ikhlas mendoakan keselamatan kami, untuk momen pendakian pertama saya yang sepertinya sulit terlupakan.

Senin, 22 April 2013

Atas Nama Kasih yang Tak Pudar (foranzakondangan)

Selepas pesta akbar Ujian Nasional, banyak alternatif yang bisa dipilih untuk mengisi waktu penyegaran. Beberapa diantara kami ada yang bertemu sanak famili melepas rindu, mengikuti perlombaan di Jogja, menonton film, mendaki gunung, dan satu yang spesial:menghadiri undangan pernikahan. Entah disengaja atau tidak, pernikahan dua guru Bahasa Arab, yakni Pak Zain dan Bu Novi, bertepatan dengan libur pasca-UN Foranza Sillnova.

Sejenak flashback, saat itu sedang begitu intensnya kami mengikuti bimbingan ujian, kami menerima undangan pernikahan bertuliskan kepada Foranza Sillnova di bagian depan. Tentu saja kami sontak menyambut baik kabar mengejutkan ini. Betapa tidak, dua orang guru kami mengikatkan diri dalam satu ikatan suci.

undangan pernikahan

Perjuangan. Satu ini yang menjadi kesan untuk salah satu rangkaian ForanzaParahyangan episode kali ini. Lebih jauh, yakni tentang bagaimana kami  mencapai lokasi resepsi. Secara garis besar, ada tiga cara yang ditempuh. Cara pertama adalah dengan menyewa bis, berangkat dari Kampus Insan Cendekia. Kemudian menggunakan beberapa mobil pribadi, berangkat dari Bekasi. Dan yang paling ekstrim-menantang, adalah dengan nge-BM, sebutan yang berpengertian menumpang mobil bak terbuka atau truk yang lalu lalang di jalan raya.
Tak satupun dari ketiganya yang lolos dari jebakan macet jalanan. Bisa terbayangkan bagaimana teman-teman  mati gaya sekian jam hanya melihat mobil dan truk yang bergerak meter demi meter karena kondisi jalan yang digenangi coklat air hujan. Dan itu berlangsung lebih dari 7 jam. Kalau saja udara lembab, bisa-bisa tubuh jadi lumutan :D
Pada akhirnya, teman-teman saya yang berkesempatan turut serta tak bisa bertamu dalam waktu yang bersamaan. Juara pertama adalah rombongan bis berisikan 29 orang yang berhasil mencapai garis finis pukul 9 pagi. Juara kedua adalah beberapa mobil pribadi berisikan teman-teman akhwat beserta keluarganya, dan berhasil datang sekitar waktu ashar, sehingga waktu yang mereka habiskan di perjalanan sekitar 10 jam.
rombongan mobil pribadi

Dan yang menyedihkan adalah kawanan BM yang sejak siang hari sebelumnya telah berangkat namun baru sampai di Tempat Kejadian Pernikahan saat Iqomah Salat Maghrib berkumandang.

demi Bu Novi & Pak Zain
Namun segalanya terobati ketika mereka yang hadir bisa memberi selamat pada kedua mempelai. Teriring jua tulus doa untuk kelanggengan tali kasih antara keduanya. Terekam jelas dalam foto kebahagiaan teman-teman Foranza, dan tentu saja kebahagiaan tak terperi Pak Zain dan Bu Novi yang banyak orang telah dengan segala perjuangan datang ke lokasi resepsi mereka.
Sedikit bercerita, bahwa perjalanan Bu Novi untuk sampai pada jenjang pelaminan ini juga melalui perjuangan yang ternyata lebih mengharukan. Ibu guru Bahasa Arab kami ini sebenarnya telah mulai mencari pendamping hidupnya sejak 2003 dengan proses taaruf seperti yang diajarkan Nabi. Telah 28 kali Bu Novi meneteskan air mata kecewa ketika proses perkenalan berakhir dengan ketidakberjodohan. Salah satu kisah biru yang berujung kebuntuan adalah dengan Pak Zainuri sendiri yang dua tahun lalu menolak dijodohkan oleh waka madrasah keasramaan. Dan Juni 2012 menjadi klimaks keputusasaannya berikhtiar, dan memilih untuk sejenak menenangkan diri.
Hingga pada pertengahan Februari lalu, kejadian yang cukup lucu terjadi. Pak Zain menawarkan pada Bu Novi seorang teman untuk menjadi suaminya dengan memastikan bahwa Bu Novi belum mempunyai calon suami. Kecurigaan seketika timbul ketika Pak Zain menyebutkan bahwa temannya ini adalah orang Kudus, lulusan LIPIA, dan berprofesi sebagai seorang guru. Bukankah itu adalah deskripsi diri dari Pak Zain? Haha, lucu sekali beliau ini, saya jadi teringat cara mengajarnya yang ringan-jenaka.
senyum bahagia dengan warna favorit:ungu
Tidak banyak basa-basi, Pak Zain pun mantap mendatangi orang tua Bu Novi dan menyatakan niatan tulusnya. Dan ajaib, ayah Bu Novi langsung mengiyakan. Pada akhirnya, 20 April menjadi epilog kisah merah hitam-merah jambu ini:ijab kabul di Masjid Ciawi Tasikmalaya. Melankolis tapi cukup menghibur, saudara-saudara.
Terlepas dari foto-foto dan makan-makan di lokasi resepsi yang meriah, secara tak langsung setiap diri Foranza telah diberi satu pertanyaan yang jawabannya tak perlu diutarakan. Tentang masa depan, bersama siapa akan menjalani partisi kehidupan yang sebentar lagi menghampiri.

Bersama seseorang yang kita temui di tempat kerja, seperti Pak Zain dan Bu Novi misalnya. Bersama seseorang  yang kita jumpai di gerbong kereta bisnis, seperti tante saya. Atau bersama teman satu SMA, seperti yang saya jumpai pada kakak-kakak kelas terdahulu di Insan Cendekia? haha, siapa yang berani memberi kepastian, selain Yang Maha Mempersatukan?