Pages

Jumat, 13 Juni 2014

Cikuray dan Pesona Tiga Ratus Enam Puluh Derajat

Rotasikan raga sebesar tiga ratus enam puluh derajat di puncak Gunung Cikuray, maka akan kita resapi selaksa pesona di setiap sudutnya. 

            Rupa gunung yang berbentuk Strato (kerucut)  ini memungkinkan kita untuk melihat komposisi megah nan padu : samudera awan stratokumulus yang bertumpuk dengan sirus, areal pegunungan Papandayan, puncak Ciremai yang muncul diantara riak-riak awan yang menggulung, riuh-kerlip jingga lampu perkotaan Garut, laut Samudera Hindia yang membiru lugas, dan hamparan hutan tropis khas Nusantara. Namun perlu dicatat, kesemuanya itu mesti dibayar dengan perjalanan yang menguras tenaga:tanjakan dan tanjakan di sepanjang rute.

Berkenalan dengan gunung ini.
Berketinggian 2821 meter, gunung yang dikelilingi oleh 5 kecamatan (Cilawu, Ciledug, Banjarwangi, Bayongbong, Cikajang) ini menawarkan dua alternatif jalur, yakni Cilawu dan Ciledug. Cilawu lebih bersahabat bagi pendaki pemula dibanding Ciledug, meski waktu tempuhnya lebih lama. Namun bila menghendaki elevasi yang lebih menantang, silahkan coba jalur Ciledug. Dalam kesempatan kali ini, penulis dan tim memilih jalur yang lebih populer diantara kawan pendaki, yakni jalur Cilawu dengan titik nol stasiun pemancar TV.
Akses menuju titik nol pendakian dapat dicapai dengan dua cara, yakni dengan transportasi umum dan kendaraan pribadi. Bila dengan transportasi umum, setelah sampai di Terminal Guntur kita dapat menumpang angkot 06 berwarna putih-biru muda menuju Cilawu, Patrol dengan ongkos sekitar 8 ribu rupiah. Sampai di sini, biasanya beberapa tukang ojek akan menghampiri kawan-kawan pendaki. Pandai-pandailah menawar ongkos. Rentang yang mungkin didapatkan antara 30-40 ribu rupiah. Cukup logis karena medan yang dilalui sangat menantang. Menjadi satu jam lebih mimpi buruk bagi penulis dan tim yang pada kesempatan kali ini mengendarai sepeda motor pribadi, hingga beberapa kali terjadi insiden kecil bumbu pedas perjalanan.
Pos Pendaftaran pertama, terletak di tengah area kebun teh
Tempat parkir dan shelter peristirahatan
Di tengah rute berbatu menuju stasiun pemancar, kita mesti mengisi buku pendaftaran dan membayar retribusi sebesar Rp3.000 tiap orang. Tidak ada tawar-menawar karena ini merupakan harga resmi dari pengelola setempat. Kemudian pada titik nol pendakian, kita juga mesti mengisi “daftar hadir” dan kembali mengeluarkan rupiah, namun dalam jumlah yang tak ditentukan, sesuai kesepakatan kelompok. Di area stasiun pemancar, fasilitas yang diberikan pihak pengelola cukup memberi kenyamanan. Terdapat shelter untuk beristirahat, parkir sepeda motor, warung makan, toilet serta mushola. Ternyata di area ini penulis jumpai pula mobil bak terbuka yang mengangkut rombongan pendaki entah sampai mana. Alternatif ini layak dicoba jika kawan-kawan membawa rombongan yang cukup banyak.

Trek dengan elevasi serupa Manglayang.
Delapan menit pertama perjalanan masih dihiasi perkebunan teh hijau segar di kanan dan kiri, serasa tamasya bersama keluarga di kebun teh. Tidak lama, akan berganti dengan semak-semak rendah untuk kemudian mulai memasuki hutan hujan tropis khas Jawa Barat yang basah. Namun beruntung sangat, pendakian edisi kali ini kami tidak bertemu hujan kecuali ketika beristirahat setelah lelah berkendara. Kita tak boleh patah semangat, meski sejak menit awal “pertandingan” hadangan elevasi telah menghampiri. Sedikit catatan, memulai perjalanan ketika hari belum sore sangat dianjurkan, agar pemandangan kebun teh yang segar di mata tidak terhalangi kabut yang mulai turun mengendap-endap. Penulis dan tim mulai berjalan pukul setengah enam, sehingga pandangan kami sedikit  terhalangi.
Salah satu trek (foto diambil saat perjalanan turun)
Terdapat tujuh pos berupa area datar yang cukup luas untuk beristirahat dengan puncak bayangan yang berada di Pos 6. Tenggat waktu setiap pos kurang lebih satu jam, kecuali antara pos 4 ke 5 membutuhkan waktu setengah jam saja. Namun perhitungan itu kembali pada kondisi fisik dan motivasi masing-masing. Kondisi medan yang hanya berisi tanjakan berhias akar pepohonan memaksa kita menggunakan dua buah tangan untuk menarik tubuh kita menuju undakan-undakan trek yang lebih tinggi. Semakin kita mampu mengatur napas dan memanajemen fisik untuk tetap bugar, akan semakin cepat kita menuju puncak strato Cikuray.
Trek penguras tenaga (foto diambil saat perjalanan turun)
Satu hal yang perlu diperhatikan ialah manajemen air. Sumber air terakhir adalah ketika perjalanan baru berlangsung satu seperempat jam dari titik nol, atau setengah jam sebelum pos 2. Sehingga kita harus mempersiapkan bagaimana agar air tetap cukup untuk perjalanan ke puncak, memasak ketika bertenda, dan perjalanan turun paling tidak hingga bertemu sumber air kembali. Satu hal ialah sampah. Hampir di sepanjang jalan penulis temui sampah para pendaki. Hal ini mengganggu harmonisasi warna coklat tanah dan hijau dedaunan sekitar. Mari menjadi pendaki yang cerdas dan peduli, dengan membawa turun sampah masing-masing.
Bila kawan-kawan beruntung dan berada pada kondisi ideal, seluruh drama pendakian akan selesai dalam lima jam. Tapi itu tidak terjadi pada kami. Penulis dan tim mencatatkan waktu total tempuh tujuh jam setengah (pukul 17.30 hingga 01.00 dini hari). Hal ini dikarenakan faktor lelah setelah lima jam mengendarai sepeda motor Bandung-Garut. Selama perjalanan pun, mayoritas anggota tim curi-curi tidur barang 10 menit di setiap sesi istirahat.

Manajemen perjalanan perlu banyak pertimbangan.
Penulis memilih strategi untuk langsung berjalan marathon menuju puncak adalah bukan tanpa alasan. Meski sejak perjalanan menuju pos 4 sudah banyak tenda kawan pendaki yang didirikan, kami tetap melenggang santai sambil menyapa kawan-kawan pendaki yang asyik menyeruput kopi. Pertimbangannya, bahwa ketika kita telah mencapai puncak, tak ada lagi beban untuk bangun pukul dua atau tiga pagi dan meneruskan perjalanan summit attack untuk mengejar sunrise yang menjadi dambaan para pendaki. Kebugaran penulis dan tim saat itu saat buruk karena perjalanan sebelumnya. Maka dengan ini, kita hanya perlu membuka tenda dan abakadabra! Sunrise telah ada di depan mata. Sebagai gantinya, tangan kami harus bergetar kedinginan memasang tenda dan memasak air pada pukul satu dini hari. Inilah sensasi berkemah di puncak gunung.

Puncak Cikuray telah sesak oleh puluh-ratusan pasang mata.
Suasana puncak Cikuray telah padat dengan tenda dengan orang-orang terlelap di dalamnya ketika kami sampai. Namun ada hal lain yang mencuri perhatian kami:kolase kerlip lampu perkotaan Garut yang damai di mata. Beberapa teman tim terhipnotis sejenak menyaksi indahnya suguhan ini, untuk kemudian mendirikan tenda dan memasak air untuk penghangat badan. Beberapa kawan pendaki yang masih terjaga meneriaki kami agar bergabung, namun apa daya rasa kantuk telah memenjarakan kami ke dalam tenda. Penulis dan tim pun hanya mendapat jatah tidur sekitar satu setengah jam sebelum bersiap menikmati sajian summit sunrise.

Detik-detik pertunjukan.
Pukul setengah enam pagi puluhan kawan pendaki telah menyesaki puncak, berdiri sporadis di pinggir area puncak dan bersiap mengambil foto. Berbagai atribut telah disiapkan:kertas putih dengan aneka tulisan, bendera merah putih, ataupun bendera komunitas masing-masing. Dan momen dimana semua mata terpana pun datang. Sang Surya mulai memantulkan kombinasi warna yang mengagumkan:jingga, kuning, dengan langit biru tua yang masih mendominasi langit, dan berangsur-angsur menggelincirkan dirinya menyusuri ekliptika. Beruntung rasanya saat itu tak turun hujan dan langit begitu bening cerah. Penulis terkagum sejadi-jadinya─harus kembali ke sini suatu hari nanti, mengajak orang-orang tersayang untuk menikmatinya bersama.
Perfect Sunrise
Penulis dan lanskap awan
Pertunjukan matahari telah berakhir, penulis dan tim pun bersiap mengisi energi dan berkemas, sementara awan kumulus dan stratus lambat laun berarak-arak di sekitar puncak berbarengan dengan mulai terlihatnya rangkaian pegunungan Jawa Barat yang mengelilingi Garut.
Penulis dan tim

Penulis dan tim (2)

Sudut lain harmoni pemandangan

Berkemas sebelum berpulang
 Perjalanan pulang terasa ringan sebab penulis dan tim hanya menemui turunan dan tanah datar tempat rehat, sebagai kompensasi atas apa yang dihadapi semalaman. Empat hingga lima jam perjalanan turun diisi dengan bercanda dan berfoto. Sesaat sebelum sampai di pemancar, beberapa pendaki menyempatkan diri membeli cemilan ringan dan minuman dingin di warung kecil yang berada di tengah-tengah kebun teh─satu fase perpisahan dengan trek dan harmoni lanskap Cikuray yang memberi kesan mendalam bagi penulis.
Bersantai

Bersantai sesaat sebelum kembali ke titik nol

Minggu, 05 Januari 2014

Satu Titik Sadar di Gunung Manglayang

Sebelum mengobat rindu ke kampung halaman dan menikmati euforia penutup tahun, bolehlah sejenak berteriak melepas beban sembari menyaksi lanskap Sumedang dan Bandung dari ketinggian. Kehendak hati pergi ke gunung yang mudah untuk didaki, namun ternyata medan yang dilalui berkata sebaliknya.

lanskap Sumedang dari Puncak Bayangan Manglayang

Meski kata orang Manglayang via Jalur Baru Beureum memberi janji pemandangan menakjubkan, kami harus membayarnya dengan trek menantang ibarat pertandingan final Piala Dunia: ketegangan ada sepanjang pertandingan. Tak pernah ada celah untuk menikmati jalan mendatar apalagi menurun seperti Gunung Burangrang tempo hari.

Manglayang berada di kawasan sekitar Jatinangor, Sumedang yang berdiri pula di dekatnya gunung-gunung tidak tinggi yang terhiasi pemukiman penduduk. Terdapat beberapa jalur yang boleh dipilih untuk mencapai puncak, diantaranya Jalur Baru Beureum, Jalur Ujung Berung, dan Jalur Buper Batu KudaRombongan saya memilih Jalur Baru Beureum karena menurut riwayat, jalur ini banyak menjanjikan “ramuan pengusir lelah” di sepanjang perjalanan.

Berangkat dari pusat kota Bandung, kami langsung bergerak menuju Jatinangor, melewati dua universitas besar dan bumi perkemahan Kiarapayung. Biasanya, para pejalan akan berhenti di sekitar Unpad dan naik ojek dengan biaya Rp20.000 untuk sampai di depan Gapura Ciloa. Dari gapura ini, kita mesti berjalan selama setengah jam hingga menemukan warung yang menjadi titik nol pendakian. Menariknya, tidak ada biaya retribusi bila ingin mendaki Manglayang. Secara implisit, kita hanya perlu beramah ramah mengucap permisi dengan penduduk lokal perjalanan sebagai “ucapan terima kasih”.

gapura Ciloa

titik nol pendakian


Titik nol dimulai dengan persimpangan: arah kanan akan menuju bumi perkemahan, sedang kiri adalah arah yang mesti kita tuju untuk kemudian bertemu dengan satu-satunya sumber air di trek pendakian. Silahkan menikmati, namun akan lebih berkesan jika Anda bermain air selepas menggenggam puncak Manglayang.

Setelah mengambil alur jalan arah kanan, tenang saja, Anda hanya akan menempuh jalur satu dan pasti:PASTI TANJAKAN. Berbeda dengan Burangrang ataupun Papandayan yang berlimpah bonus, trek menurun di Manglayang hanyalah mitos. Saya jadi teringat dengan trek Gunung Salak yang memiliki medan serupa.

satu dan pasti: PASTI TANJAKAN

Tak hanya tanjakan yang menjadi tantangan, namun kondisi medan yang licin dan berhias duri juga menjadi pokok pikiran selama pendakian. Maka dari itu saya sarankan untuk memakai lengan panjang selama perjalanan. Beberapa teman yang baru pertama merasakan serunya pendakian cukup mengalami kewalahan. Mereka ini begitu sering merangkak seru karena sulitnya medan dan elevasi. Namun tenang saja, kualitas trek berbanding terbalik dengan durasi. Bila Anda menemukan plang IPDN seperti gambar di bawah ini, maka Anda hanya butuh 15 menit lagi langkah kaki untuk mencapai puncak bayangan, yang malah banyak menjadi destinasi akhir para pendaki.
plang dari IPDN

Mengapa menjadi favorit, alasan utamanya tentu ialah pemandangan 180 derajat lanskap Sumedang dan Bandung dari ketinggian lumayan. Lampu kerlap-kerlip sejenak menghipnotis dan melucuti kelelahan kami akibat pertarungan dengan medan. Terlihat di kejauhan Gunung Geulis (dalam bahasa Sunda berarti “cantik”) yang tampak hitam legam seorang diri dikelilingi gerlap penerangan rumah penduduk di kaki-kakinya. Di tempat ini kami mendirikan tenda. Perlu menjadi catatan bahwa, puncak bayangan hanya menyediakan lahan untuk dua tenda ukuran sedang. Selebihnya berupa jalan memanjang yang kanan kirinya jurang dalam (saya belum dan tak berniat mengecek kecuramannya).

lights in the memorable night


Puncak Bayangan yang memanjang sempit

sesempitan dalam tenda

Atau terdapat alternatif lain, Anda perlu melewati jalur ke kanan sejenak untuk menemukan sebidang sempit tanah lapang. Namun lebih baik ketimbang berkemah di puncak bayangan yang setelah saya ketahui  bagian pinggir tempat kami bertenda tanahnya sudah retak dan nyaris longsor. Tinggal 'menunggu waktu'. Beruntung saat malam, angin yang bertiup begitu kencang saat dini hari pukul dua yang membuat kami semua terbangun dan berdoa agar angin tak sampai menerbangkan tenda.

Kontras. Semalam saat kami datang, angin bergerak tenang merangkaki bukit dan menyusuri lembah sehingga kami bisa sembahyang di luar tenda dan membuat hindangan khas dunia daki:mie plus sarden dengan taburan kacang atom yang menggugah selera. Namun semuanya menjadi berbeda ketika gelegar angin menyerang. Ketika dini hari,bebunyian angin sepeerti air terjun membangunkan kami dan membuat jantung berdegub kencang. Beruntung bayangan yang tidak-tidak dalam pikiran kami tidak pernah terbukti. Kami menjumpai titik sadar di benak kami bahwa kami ini kecil.

Bila gelegar angin surut ketika matahari datang, kami sempat merencanakan untuk berjalan ke titik tertinggi. Namun rencana ini urung dilakukan. Meski telah cerah, angin tetap saja bergemuruh, ditambah beberapa teman yang mulai tak enak badan. Saran saya, jika mau lakukan perjalanan Manglayang ini pada musim cerah. Adalah keputusan terbaik untuk segera berkemas dan turun. Rute pulang ditempuh dalam waktu yang sama yakni 1 jam 40 menit. Seharusnya lebih cepat, namun karena medan yang licin, apaboleh buat kami tak bisa berlari.

meluncur di trek menurun selamanya

sungai mungil di awal jalur

Seperti semula saya katakan, di awal jalur pendakian terdapat sungai mungil yang airnya deras mengalir. Inilah saat yang tepat untuk menikmati sembari membilas pakaian, badan dan alas kaki. Beruntung pula, pagi itu Warung Bu Ipah sudah buka. Karena saat kami tiba kemarin, Warung Bu Ipah masih tutup. Tak ada manusia di area titik nol ini.
Bu Ipah dan penulis

Sekadar info, Bu Ipah ini sudah 14 tahun berjualan di titik nol pendakian Manglayang. Sekali waktu anak beliau menjemput dengan sepeda motor untuk membawa beliau ke rumah ataupun berbelanja dagangan. Berbagai camilan dan minuman hangat dijual dengan harga yang wajar, sama seperti warung pinggir jalan pada umumnya. Sebenarnya ada pula warung di seberang Warung Bu Ipah, namun hanya buka Sabtu-Minggu. Di samping Warung Bu Ipah, ada mushola yang cukup besar, selain sembahyang cukup untuk menaruh carrier, berganti pakaian, bahkan merebahkan diri bersama-sama.
tempat istirahat&sembahyang yang cukup luas

melepas lelah di warung Bu Ipah

way to home

Perjalanan pulang harus diawali dengan berjalan pula, masih dengan waktu tempuh 30 menit untuk bersua dengan tukang ojek yang duduk manis menunggu di depan gapura Ciloa. Untuk perjalanan turun ini, silahkan Anda tawar hingga 15 ribu untuk rute gapura Ciloa-halte Damri. Sebagai penutup, bolehlah menjelajahi Jatinangor, bersantap siang di sana, merasai betul silir damai angin Sumedang sebelum berpulang.