Pages

Minggu, 30 Desember 2012

Paruh ke Lima: Lara dan Kecewa


Merah…Biru...Hijau...Hitam...Kuning...Jingga…Hitam…Abu…Abu…Abu…Hitam…Hitam…Kelam…Kelam…Kelam…Kelam…
Jika banyak orang berpendapat bahwa perjalanan hidup ini seperti spectrum warna pada pelangi selepas hujan, memang benar adanya. Jika kemudian para pecinta angka berkelakar, bahwa kehidupan ini seperti grafik fungsi kuadrat atau berpangkat-pangkat, memang tidak salah. Dan terlebih bagi saya, itu semua begitu relevan dengan apa yang terjadi pada paruh ke lima perjalanan dunia fantasi saya yang sekarang, Insan Cendekia, institusi yang istimewa tiada banding.

Dua tahun telah terlewati dengan begitu singkat, hingga akhirnya terlewati pula setengah jalan dari tahun terakhir saya di sini.Begitu banyak kejutan menimpa, begitu banyak hal di luar rencana dan perhitungan jari tangan saya selama ini.

Di awal tahun, saya berkesempatan mengikuti salah satu ajang bergengsi negeri ini.Takdir mengantarkan saya pada banyak pengalaman manis dan menakjubkan. Mendapat curahan ilmu dari orang-orang hebat, bertemu berbagai ‘bentuk’ orang dari seluruh Indonesia: rupanya, penampilannya, lakunya, nada bicaranya, hingga perangainya. Bahwa sekali ini saya membuktikan, negara ini kaya akan ragam. Termasuk juga, hal-hal lain yang diinginkan anak sekolah dewasa ini:kabur dari jam sekolah (meski ini saya lakukan dengan legal). Pada bagian ini, tentunya saya wajib bersyukur sejadi-jadinya atas kenikmatan yang hanya sedikit orang yang merasakan.

Perahu masih terus berlayar. Meski itu semua tidak berakhir dengan sesuatu yang diharapkan, saya mencoba mengerti semuanya dengan mendewasakan pikiran. Bertukar pikiran dengan orang-orang yang tepat dan ‘bisa diajak bicara’ cukup memberi banyak andil untuk membuat kondisi psikis tetap tenang.Ya, saya bisa menerimanya. Kenyataan.

Saya kembali menjadi murid yang seutuhnya.Tidak ada main-main dan ‘bolos sekolah’ lagi.Masih ada tiga bulan yang masih bisa saya lalui, beriringan dengan 115 teman-teman Foranza yang lain, pikir saya. Ikut tertawa, mengerjai teman yang lain, tugas kelompok mungkin, hingga dimarahi bersama. Pada bagian ini, semangat saya seperti kulit ular:berganti, lebih mengkilat dari sebelumnya.

Di awal saya sendiri mencoba memaklumi. Hasil yang buruk ini memang karena saya mengerjakan butir-butir soal yang materinya tak saya hadiri di kelas dengan normal.Kala itu saya hanya mendapat beberapa pengajaran susulan yang singkat, yang menuntut saya untuk memahami lebih dalam seorang diri. Dan kebetulan, saya tidak bisa mengikuti cara seperti ini. Jadilah nilai di atas kertas itu tak bisa menggambarkan nilai yang ‘murni’ menurut pribadi saya.Sedang sisi yang tidak bisa saya perjuangkan adalah tentang kebijakan coba-coba oleh sekolah yang meniadakan perbaikan nilai ujian tengah yang sebelumnya ada pada tahun yang lalu.Menyerah” menurut teman saya adalah ketika tak ada hal terbaik yang bisa dilakukan meski sebenarnya saya mau melakukannya. Dan pada bagian ini, saya menyerah, karena memang tak ada yang bisa diperjuangkan lagi, kan?

Inilah bagian yang saya sebut di luar perhitungan jari tangan saya, alias prasangka saya terhadap setiap hal. Semua saya lalui dengan rasa yang ringan, namun hampir semua menunjukkan hasil yang tak indah dipandang. Sekitar satu bulan lebih lamanya saya menjalani, banyak hal berbuntut kurang menyenangkan. Barangkali saya telah mengambil sikap yang salah. Mungkin saya kurang panik dari yang seharusnya, haha. Mungkin bersantai dengan keadaan adalah bukan sikap yang seharusnya saya ambil untuk bagian-bagian yang kemudian terasa sangat penting ini. Apakah menggebu-gebu adalah satu yang tepat untuk ini semua?

Dissapointing moment sepertinya belum mau beranjak. Saya adalah siswa tahun ketiga, dan saya harus melanjutkan studi ke arah mata angin yang lain. Dan untuk kedua kalinya, saya dikhianati sistem yang disetujui pihak yang berkuasa.Ah, andai saja sayalah orang yang berkuasa itu, pikir saya. Sistem penerimaan di universitas menjadikan nilai raport sebagai acuan. Makin menjadilah masalah saya tempo hari. Dengan apa saya akan mendaftar? Mana mungkin nilai seperti itu akan diindahkan? Tidak bisa diperjuangkan lagi memang.Tidak ada selain menanti keajaiban datang, nanti, di saat yang tepat. Otak semakin keras berpikir, namun tidak ada kecuali hasil yang nihil.

Sembari berharap, bolehlah saya sebut masa ini sebagai titik terendah perjalanan mengais-ngais ilmu Allah yang begitu luas dan maha rumit ini. Selanjutnya, tidak akan seperti ini lagi. Enam bulan ini, sudah cukup menendang saya begitu kerasnya.Ya, saya mendapat nilai kurang untuk subject yang begitu penting untuk saya.(Namun berkat perbaikan dan kemurahan hati guru-guru saya, di nilai raport saya tidak ada angka merah.Tapi, tetap saja buruk, kawan).Nilai-nilai merah pertama sejak saya mengenal kata sekolah dan belajar di dunia ini. Saya terjatuh, tapi muka saya tidak lebam-lebam, masih sempat memberi senyum pada setiap orang yang berpapasan dengan saya. Bila memang peristiwa berdarah ini akan berbuah masam pada lima bulan yang akan datang, saya terus saja percaya bahwa akan selalu ada jalan. Akan selalu ada jalan, yang memang telah dijanjikan.Dijanjikan, dijanjikan dengan sangat pasti.


Semakin mantap rasa yakin saya pada senja terakhir saya di Insan Cendekia pada tahun penuh jalan berbukit ini. Saya diajak seorang teman untuk menghadiri sebuah pertemuan mingguan. Beberapa poin saya catat ketika ustadz saya membahas sebuah ayat yang telah dibaca oleh salah seorang teman, yakni Ali Imran 140.

Sudah menjadi hukum alam bahwa di dunia ini akan terjadi pergiliran kejayaan. Sebagaimana pada waktu yang terdahulu:kaum muslim menang pada perang Badar, kemudian kalah pada perang Uhud, kemudian jaya kembali pada perang-perang selanjutnya.  Saya mencoba merefleksikannya pada diri saya masa-masa ini. Bahwa mungkin saya sedang meniti jalan menurun, atau bahkan menukik. Tapi saya akan mendaki kembali, ketika menurut Allah, saya telah siap mendapatkannya.

Bahwa dinamika itu perlu ada, perlu hadir pada seseorang, sekali waktu.

Senin, 19 November 2012

Sosio-Antro Field Trip

-->


Sebelumnya saya hendak bersyukur pada Allah karena telah mengilhami bapak nomor satu di sekolah saya untuk memperkenankan anak-anaknya menghirup udara bebas.
Kemudian saya juga sepatutnya bersyukur pada-Nya, karena serangkaian skenario tidak mengenakkan yang menimpa saya jumat-sabtu kemarin menyuguhi saya pertunjukan sosio antropologis ini.

Dalam bayangan saya, fenomena sosio-antropologis adalah segala realita yang terjadi dalam kehidupan manusia yang benar-benar menggambarkan karakter manusia dalam menghadapi kondisi sekitarnya. Dan saya pun mendapati hampir semua pemandangan manusia ini dalam gerbong kereta lokal dan angkutan umum yang ngebut-berhenti di jalanan ibu kota.

Begitu banyak karakter manusia yang tercermin di sini. Tentang bagaimana cara ia mengekspresikan hal yang menjadi kesenangan dalam hidupnya. Tentang proses cerdik untuk mendapatkan apa yang ia inginkan tanpa membuat orang lain berang, tapi malah membuat orang lain terkaget. Kemudian sebuah masalah klasik−himpitan ekonomi yang memaksa orang untuk tidak lagi mempedulikan raganya dan rasa malu dan terendahkan yang akan terus melekat di dadanya.

Ketika saya menumpang sebuah bus kota, Mayasari Bhakti kalau tidak salah, seorang bapak masuk ke bus saya. Rambut gondrong hingga sebahu, celana jeans longgar−bukan trend saat ini, dan kaos hitam bertuliskan TU-KANG-JA-LAN. Awalnya saya kurang mengerti apa yang akan 'ditunjukkan' oleh bapak gondrong ini.

Sejauh pengalaman saya, biasanya yang ada dalam bus kota adalah sopir dan asistennya, para penumpang yang kepanasan, penjaja makanan ataupun pernak-pernik dagangan, pengamen−solo atau berkoloni, ataupun mas-mas semi preman yang berpidato sebentar lalu meminta uang yang terkadang disertai intervensi, dengan curhatan khasnya, “Bapak-bapak ibu-ibu, saya baru keluar dari penjara dan belum punya uang. Daripada saya berbuat kerusakan di sini, lebih baik bapak dan ibu sekalian memberi sedikit belas kasihan pada saya.” Yang kemudian ditutup dengan doa “hati-hati di jalan”nya.

Semakin penasaran saja, apa yang akan dipertunjukkan oleh bapak ini. Ia pun berjalan ke depan dan berdiri dekat tempat duduk saya. Ternyata eh ternyata, bapak ini berpidato singkat. Bukan mengintimidasi seperti yang pernah saya jumpai, namun ia malah memberikan pesan ajakan tentang demokrasi dan anti-korupsi. Super sekali bapak gondrong ini. Dengan sedikit percakapan yang ia peragakan seorang diri dan intonasi yang berapi-api, ia berusaha meneriakkan pesan moral ini, termasuk mengajak seisi bus kota berjuang memajukan Indonesia.

Sedikit banyak, saya terkejut dengan pemandangan ini. Barangkali, bapak ini adalah seorang aktivis LSM yang tidak memiliki pekerjaan. Sehingga mencari uang dengan tetap membawa misi demokrasi dan pembangunan negeri. Atau mungkin, hari itu adalah hari libur kerjanya dan ia iseng jalan-jalan keliling Jakarta sambil nyari uang gopek-seceng.

Kemudian saya juga bersua dengan seorang bapak bertopi dengan public speaking skill yang luar biasa oke. Dia ini membawa barang dagangan spot light kecil dengan bonus batu baterai satu kemasan. Poin positif yang saya tangkap adalah kemampuan berbicaranya. Gaya bicaranya cepat dan lancar, hanya sedikit jeda.” ...lampuspotlightkecilinibisamenjangkau10meter....sangatbergunaketikamatilampu ataumenemanianakandabelajar....hanyasepuluhriburupiahbonusbateraisebanyaksatulembar...”. Sengaja saya tulis tanpa spasi, karena memang seperti ini kedengarannya. Cepat. Saya pikir bapak ini bisa mencapai kemampuan seperti ini bukan dengan belajar pada guru, tapi ia ada datang dengan pengucapan berkali-kali setiap harinya. Tidak ingin berlama-lama di dalam bis tetapi tetap mendapat pelanggan. Saya semakin percaya, begitu banyak kemampuan bisa anda kuasai di luar pendidikan formal.

Sosio-Antro Field Trip saya berlanjut ke gerbong kereta lokal kesayangan rakyat Jakarta. Ketika berada dalam kereta commuter line yang ber-AC dan tak ada penjual, satu hal yang saya lihat. Ternyata norma susila, rasa peduli dan sikap tak egois masih bernapas di negeri ini. Saya menyaksikan seorang lelaki yang mempersilahkan duduk seorang wanita. Di negara saya, Indonesia, “hukum” ini memang telah diajarkan, baik pada mereka yang bersekolah, ataupun yang tak pernah memiliki guru sekalipun. Bagaimana dengan negara di belahan bumi lain? Prancis..Swiss mungkin? Saya belum berani memastikan. Mungkin suatu saat saya akan mengeceknya.

Perjalanan belum selesai. Pada libur singkat ini, saya juga sempat naik kereta ekonomi lokal yang harga tiketnya sangat merakyat itu. Di sini, saya lebih banyak lagi menjumpai fenomena ke”manusia”an.

Di dunia ini mungkin ada orang yang hidup dengan tidak menonjolkan identitasnya. Tetapi sepertinya lebih banyak orang menjalani hidup dengan sangat bangga menunjukkan jati dirinya. Anda mungkin dapat menebak beberapa diantaranya yang berada di gerbong merakyat ini. Ya, benar. Di sana, saya melihat mas-mas berlipstik sedang duduk santai dengan pekaian “wah”nya. Sepertinya telah banyak tugas akhir mahasiswa ataupun penilitian para akademisi yang menjadikan kaum ini menjadi judul depan kajian mereka.

Terlepas dari betapa penyimpangan mereka sangat membuat hati miris, paling tidak kita dapat mencontoh karakter percaya diri mereka. Bahwa ketika keyakinan telah terpatri, apa saja sangat mungkin dilakukan.Apa pun yang kita inginkan dan apa pun yang kita sukai.

Tidak ketinggalan pula, beberapa penampakan lain yang pasti pernah kita temui, tetapi jarang kita terawang lebih banyak. Para peminta dan penjaja makanan. Sebenarnya saya tidak ingin memihak pada salah satunya, namun saya hanya mencoba memberikan pendapat. Tidak tahu kenapa, saya lebih sangat menghargai bapak-mas-ibu asongan yang dengan gigih meneriakkan barang dagangan penentu takdir kehidupannya daripada orang-orang yang hanya gemar meminta belas kasih dan menghadapkan telapak tangannya ke langit.
Seminggu lalu, seorang syekh di sekolah saya memberi petuah tentang pentingya memakan rizki hasil keringat sendiri. Sontak, saya pun jadi teringat. Pastilah sudah tertanam dalam pikiran para pengasong, bahwa rezeki itu harus dicari dengan halal meski harus mengorbankan raga dan gengsi. Mungkin dalam setiap teriakan dan penawarannya pada para penumpang, terbersit bayangan wajah sanak familinya yang selalu berharap dagangan ayah-ibunya laku keras, yang dengan sakti menolak keinginan raganya untuk berhenti melangkah. Dan para peminta, saya kurang mengerti apakah mereka putus asa, atau sebenarnya ada “sesuatu yang bisa dilakukan” namun mereka memutuskan untuk tidak melakukannya untuk kehidupan mereka. “ Kupertaruhkan nafasku hari ini pada belas kasih orang-orang...” demikian ungkapnya barang kali.

Perjalanan singkat yang melelahkan, namun memberi banyak pelajaran.




Selasa, 06 November 2012

Tamasya Kota Hujan Foranza


       Penghabisan Oktober yang lalu, generasi ke-16 Insan Cendekia Serpong−ForanzaSillnova bertamasya ke Kota Bogor. Bukan tamasya dalam artian sebenarnya, namun lebih kepada menambah wawasan di luar kelas. Wawasan yang baru-baru ini sedang ramai dibicarakan:perhatian umat manusia terhadap lingkungan hidup. Atau yang lebih umum dipublikasikan dengan PKLH (Pendidikan Kepedulian Lingkungan Hidup) di sekolah saya, Insan Cendekia Serpong. Pada hari-hari kemarin kami diberi ‘kerjaan’ oleh Pak Japar&Bu Rene−pembimbing PKLH kami−untuk menyulap plastik-kaleng-kertas-stereofoam-atau apa pun yang pantas didaur ulang menjadi barang yang lebih bernilai, setidaknya membuat satu alasan agar barang tersebut tidak terdiam begitu saja di tempat sampah. Namun bagai gerimis datang di musim kering, senang rasanya saat kami diajak oleh beliau-beliau untuk jalan-jalan ke Kota Hujan.
       Barangkali telah didesain dengan baik oleh bapak-ibu guru, seluruh siswa sudah diminta berada di lapangan futsal(baca:upacara) pada pukul 6, namun bus berpacu baru satu jam setelahnya. Satu jam tersebut kami isi dengan mendengarkan beberapa kalimat dari orang nomor satu di Insan Cendekia, bercengkerama sejenak, ataupun menunggu dengan tidak sabar, duduk di dalam bus.

       Di luar dugaan saya, perjalanan hanya memakan waktu satu seperenam jam:entah karena sopir yang begitu profesional, jalanan yang lengang, atau jarak Serpong-Bogor telah diperpendek oleh seseorang. Namun yang terpenting, kami mencapai destinasi pertama dan utama kami dengan selamat-Alhamdulillah.
Pukul 08.10 waktu Indonesia di jam tangan saya, kami telah sampai di SMA Plus YPHB( Yayasan Persaudaraan Haji Bogor). Sedikit berkenalan, SMA bentukan yayasan alumni jamaah haji se-kota Bogor ini tergolong senior dalam hal pengelolaan lingkungan hidup. Banyak penghargaan telah disandang olehnya. Pantas saja, pengelolaan lingkungan menjadi perhatian utama di sekolah ini, yang dibuktikan dengan beberapa kebijakan pihak eksekutif sekolah yang sedikit banyak ‘berbau’ lingkungan. Sekolahnya pun cukup bersih, rapi, dan tertata:kebun apotik hidup, green house, lapangan futsal dan basket yang berjajar, kantin sekolah, dst. Kembali ke alur cerita, turun dari bus kami langsung diarahkan menuju GSG-nya YPHB. Di ruangan yang cukup luas memanjang itu, kami berkenalan dengan YPHB lewat beberapa kalimat yang diucapkan oleh perwakilan guru dan tentu saja, paparan mengenai program serta kegiatan pengelolaan lingkugan di sana.
        Puas mendengar briefing, akhirnya kami diijinkan berkeliling. Kami dipisahkan berdasar kelas, secara bergiliran mengunjungi ‘pos-pos’ yang telah mereka persiapkan. Namun pada intinya, saya pribadi senang karena pada saat itu saya bisa jalanjalan-liatliat-cobacoba-icipicip.Tuan rumah menyiapkan stand-stand yang ditunggu oleh anak-anak kelas XI. Dari stand-stand ini, kami mendapat banyak pengetahuan baru.Kami berkenalan dengan media tanam terarium dan pupuk kulit telur, bagaimana membuat briket dan biopori, menyulap bungkus kopi menjadi hiasan yang menarik, hingga membuat lilin aromatheraphy dengan larutan asam stearatyang suatu saat nanti saya akan mencoba mempraktekkannya sendiri. Sempat juga kami mencicipi jamu kunyit asamhanya sebagian dari kami, karena memang mereka tidak menyediakan cukup banyak botol jamu untuk kami. Dan setidaknya, penjelasan dari beberapa teman baru kami ini cukup mampu membuka mata kami akan pentingnya kesadaran lingkungan sejak usia muda.
        Bukan hanya stand yang kami jelajahi beramai-ramai, kami juga berkesempatan menyambangi Bank Sampah­−terdengar aneh, Green House, dan Kebun Apotek Hidup. Di pojok areal sekolah terdapat sebuah ruangan mungil yang berfungsi sebagai mesin pencacah sampah organik kering, yang di sampingnya terdapat tiga buah kotak:penampung sampah organik, sampah yang telah dicacah, dan sampah yang telah dicampur kotoran kambing milik tetangga YPHB yang kebetulan seorang peternak. Butuh kira-kira 2 minggu lamanya agar pupuk kompos ini bisa dikemas dan dijual bebas seharga 5 ribu rupiah setiap bungkusnya. Kemudian di sekitarnya, terdapat banyak tong plastik biru tua berkeran yang tidak lain adalah komposter penghasil pupuk padat dan cair hasil fermentasi sampah daun dan ranting.

        Target jelajah kelompok saya selanjutnya adalah Green House YPHB. Tertata rapi, terasa sejuk, dan menyegarkan pikiran−saat kami melihat hijau dedaunan yang sedang nagkring di atas pot-pot plastic hitam. Bapak penjaga bercerita bahwa green house ini dinobatkan sebagai green house sekolah terbaik di kota Bogor. Beliau pun sempat menunjukkan beberapa tanaman langka koleksi green house ini. Satu lagi catatan untuk green house ini adalah tanahnya yang dipenuhi batu-batu kecil−bukan paving block seperti sekolah saya, semakin menambah ke-natural-an green house ini. 
 
        Hal kurang beruntung yang menimpa saya dan kelompok saat itu adalah ketika kami tidak berkesempatan mengunjungi Kebun Apotik Hidup karena terbatasnya waktu. Namun tidak jadi soal buat saya dan Jaisyi, kami berdua berjalan cepat untuk melihat sekilas kebun kecil yang berada di samping Lapangan Basket. Sekedar mengambil foto untuk laporan terbeban pada kami dan merasakan kerindangan pohonnya barang sejenak.
        Semua bagian yang berbau lingkungan hidup pun telah rampung kami jelajahi. Sekitar pukul 11 kami berkumpul di samping lapangan untuk menutup kunjungan di sana:seremoni tukar-menukar cenderamata serta ucapan terima kasih.”Ke Bekasi sama Babe…Makasih Ye Pe Ha Be…” ucapan terima kasih khas ForanzaSillnova (yang banyak didominasi oleh “makan nasi” dan “ke bekasi”) tersebut cukup membuat tuan rumah kami berdecak kagum dan tak mau mengalah. Mereka pun mencoba mengimbangi:”Burung Cenderawasih dari Irian Jaya…Makasih Insan Cendekia…”. Haha, lumayan lah (meski saya sendiri agak bingung, harusnya kan tamu yang berterima kasih, kenapa tuan rumah kami ini berterimakasih?). Tidak ketinggalan “salam perpisahan” pelengkap s­ebuah kunjungan: foto bersama!

        Hari belum genap berlalu separuh bagian, kami pun telah meninggalkan YPHB, dan beralih ke Kebun Raya Bogor. Hanya setengah jam perjalanan dengan kecepatan biasa untuk sampai di gerbang utama Kebun Raya Bogor. Kami berjalan masuk beberapa ratus meter untuk mencapai masjid. Foranza menuju masjid yang besar, sementara Sillnova menuju mushola kecil yang tidak jauh dari masjid. Setelah sembahyang dzuhur usai, kami bebas berjalan ke mana saja kita mau, dengan satu syarat:tidak berdua-duaan.Atas perkataan Abah Fikri, saya mengapresiasi.Dalam penafsiran saya pribadi, Abah Fikri tidak melarang adanya ketertarikan alamiah yang muncul tak diundang−meski kadang diharapkan, tapi ayahanda kami ini hanya tak ingin ada anaknya yang terurai mendahului yang lain. Bagi beliau−juga kami, seratus enam belas adalah angka yang berarti dalam hidupnya.
        Tentu saja kami tak ingin kehilangan momen JalanjalanForanza kali ini. Ada yang menuju jembatan gantung, mengagumi anggrek di taman, bercengkerama di bawah teduhan pohon, berfoto levitasi, merebahkan tubuhnya di padang hijau yang luas, ataupun duduk santai menikmati suasana terik di depan kolam. Saya menyaksikan banyak rasa bahagia yang tercipta di sana, di momen itu.

        Waktu bebas habis, pukul dua siang Abah Fikri mengumpulkan kami­−yang ada akhirnya saya tahu, adalah untuk sebuah “rencana jahat” pada dua teman kami yang hari itu merupakan hari spesial bagi mereka:ulang tahun. Memang pada waktu bebas, saya melihat Retas, Bastomi, Fakhri, dan kroni-kroninya sedang mengendap-ngendap sambil menenteng ember penuh berisi air kolam ikan.Rencananya pun terbilang sederhana:kami memainkan sebuah game yang melibatkan seluruh Foranza(tanpa Sillnova, mereka hanya duduk melihat, memperhatikan dengan baik:−), lalu ketika game tengah berlangsung, “Pasukan Pengguyur” langsung belari menuju Rowi yang sedang asyik dan Fitri yang sedang duduk santai. Dan..Taraa! air kolam terguyurkan dengan sukses.
        Belum selesai. Adalah hal yang mengejutkan ketika Rowi dilempar paksa ke kolam teratai dengan sebuah modus operandi yang cukup professional:Retas mengajak “Pasukan Pengguyur” agar meminta maaf pada Rowi, yang ternyata malah membopong paksa, berlari beberapa langkah, dan melemparkannya ke kolam kotor itu. Tak terbayangkan betapa terkejutnya teman kami yang satu ini. Bapak-Ibu guru pun hanya semakin tersenyum ketika mendapati siswa pecinta hewannya itu begitu menderita, sambil tertawa, sedang berbasah-basahan.
        Tapi perlu diketahui, bahwa ForanzaSillnova adalah angkatan yang “penyayang”. Kami tidak membiarkan kedua target operasi menggigil sepanjang perjalanan dan jadi bahan tertawaan. Teman saya telah membawakan baju kotak-kotak biru dengan celana training merah menyala untuk Rowi, dan setelan berwarna merah-kuning-hijau untuk teman perempuan saya yang pendiam ini. Ya, sangat sangat begitu tidak matching. Tinggal digantung di tiang besi, jadilah lampu lalu lintas yang berdiri membisu di jalan raya. Haha. Angkatan saya ini, benar-benar penyayang, bukan?

Rabu, 17 Oktober 2012

Foranzaku Mengangkasa


“SILLNOVA, INI DARI FORANZA...”(tryroedy dkk.)

Tiga.Dua.Satu.Yak, balon udara Foranza Sillnova perlahan-lahan terbang meninggi meninggalkan tanah pijakan pada sebuah pagi cerah di kampus tercinta, Insan Cendekia.Kombinasi warna hijau, putih, dan coklat bertuliskan FOSIL dengan ukuran sekitar 5x6 meter dengan santainya membebeaskan dirinya dengan udara panas ringan yang terperangkap di dalamnya.Sebuah hadiah ulang tahun istimewa  yang belum pernah terbayang di benak pikiran kawan-kawan Foranza sebelumnya.Semua mata takjub memandang, tak mampu berkelak hati bahwa memang hadiah ultah angkatan buatan tangan anak Foranza dan untuk Foranza Sillnova ini benar-benar mendamaikan hati.Tidak hanya kami Foranza Sillnova, adik-adik kami dari Magnivic dan Astonic, beberapa tamu yang berkunjung ke Insan  Cendekia serta guru turut menyaksikan kemegahan penyerahan mimpi kami pada langit Minggu pagi itu.



Pada Rabu, 10 Oktober 2012 angkatan 16 Insan Cendekia yakni Forza Esperanza Sillnova telah tepat berusia 2 tahun.Tidak terasasebenarnya sih cukup terasakebersamaan kami telah berlangsung 2 tahun lamanya.Tidak ingin melewati momen spesial begitu saja, kami pun membuat serangkaian perayaan.Mulai dari menghias asrama, melaksanakan Hari Bhakti Foranza, mendengarkan nasihat bijak dari guru kami, hingga makan pagi bersama tiga angkatan:Foranza Sillnova, Magnivic serta Astonic.Pada awal minggu, kami bersama-sama menghias asrama tercinta, Gedung Fs dan H.Kami ingin anak-anak Foranza benar-benar merasakan meriahnya hingar-bingar ulang tahun, layaknya anak kecil yang begitu riang karena ulang tahunnya dirayakan. Kemudian pada  hari-H, yakni 10-10-2012 kami jadikan ia sebagai Hari Bhakti Foranza.Kami menggantikan sebagian besar tugas OS-Cendekia pada hari itu, memberi beberapa inovasi pada beberapa bagianhingga terlihat benar-benar berbeda, serta sempat berbagi sebungkus Siomay dengan bapak-bapak CS dan Landscape yang sedang bekerja.Dua hari berlalu, acara berikutnya adalah Mabit Foranza Sillnova.Padanya, kami mendengarkan nasihat dari Pak Yus, nonbar di samping masjid, dan Sembahyang Malam Bersama.Hingga sampailah kami pada puncak perayaan ultah, yakni Makan Pagi Bersama tiga angkatan dan menerbangkan balon.Bukan sekadar balon yang indah dipandang, namun memberi makna mendalam, bagi kami.

Penerbangan balon ini berawal dari pendapat salah seorang teman saya, yakni Rizki NF.Bagaimana jika Foranza menerbangkan balon udara yang berhiaskan ucapan ulang tahun untuk Foranza Sillnova?Tentu saja, teman-teman begitu antusias.Dalam bayangannya, kami akan memesan balon helium pada abang-abang tukang balon.Berhari-hari lamanya tidak menemukan pihak yang dimaksud, teman saya Retas Aqabah lantas menawarkan sebuah penyelesaian yang cukup menggebrak dan berisiko:membuat balon udara dengan tangan kami sendiri.Memang ia belum pernah membuat balon udara itu sebelumnya.Hanya, ia sering sekali melihat balon tersebut di kota asalnya Wonosobo.Dan beruntungnya, ada teman sepermainannya di Wonosobo yang sudah ahli dalam membuat balon udara buatan tangan tersebut.

Balon udara yang dibuat oleh Retas dan beberapa teman saya ini mengusung prinsip konveksi  dan  pembakaran tidak sempurna.Telah saya sindir sedikit di awal,  balon yang terbuat dari 200 lembar lebih kertas kreps tersebut dapat mengangkasa karena udara panas yang terperangkap di dalamnya.Jelasnya, sebelum diterbangkan, balon dipanasi terlebih dahulu dengan meletakkan balon tersebut di atas sebuah ban mobil yang dibakar.Mengapa ban mobil?Karena kita membutuhkan banyak asap hasil pembakaran tidak sempurna.Semakin banyak asap, akan semakin baik karena gas yang terperangkap di dalamnya akan semakin ringan.Sesuai prinsip konveksi, udara yang panas memiliki massa udara yang relatif ringan dan akan bergerak ke atas.Dengan kata lain , Retas dan teman-teman kreator balon membuat sebuah kantong udara panas dan ringan yang berwujud sebuah balon berwarna putih, hijau dan coklat.

Pembuatan balon udara tersebut diawali dengan menyatukan kertas-kertas kreps dengan lem putih, dan diantara sambungan kertas-kertas tersebut dikuatkan dengan benang untuk menahan tekanan udara dalam balon.Kerangka tersebut selajutnya dipasangi kerangka bambu melingkar dengan diameter 1,5 meter.Pernah melihat jaring ubur-ubur milik Spongebob dan Patrick?Kira-kira seperti itulah fungsi kerangka bambu mirip hoolahoop tersebut, yakni untuk mempertahankan bentuk bulat balon udara.Sedang pada bagian atas balon diberi pemberat dari pasir untuk menjaga keseimbangan balon udara ketika tertiup angin di udara lepas.Bermalam-malam lamanya Retas dan beberapa kawan menyelesaikan balon kami.Saya tak bisa membayangkan betapa remuk redam sistem tubuh kawan-kawan saya ini yang berhari-hari dipaksa melanggar siklus tubuh normal seperti hari-hari yang lain.Ibarat kemarau setahun dibalas hujan sehari, balon pun dapat diterbangkan meski terdapat sedikit kendala yang cukup menegejutkan.

Pagi hari belum genap setengah tujuh, Foranza beserta kawan-kawan dari Astonic dan Magnivic beramai-ramai menuju tanah lapang samping masjid untuk menyaksikan penerbangan balon pertama Foranza Sillnova tersebut.Kami semua telah berdiri melingkar, menanti  prosesi penerbangan.Namun apa boleh dikata, yang tak diharapkan kedatangannya pun berulah.Ketika balon sedang dipanaskan, tiba-tiba balon tersebut goyah.Karena panik kalau-kalau balon tersebut tersambar api, salah seorang teman pun dengan refleknya menebas salah satu sisi balon kami.Lubang pada balon pun tak dapat dihindari.Akhirnya, dengan berat hati kami pun segera memperbaiki.



Beruntung, sekitar pukul setengah delapan sesaat setelah acara usai, kami bertolak kembali menuju tanah lapang samping Masjid Ulul Albab, berharap kali ini balon kami benar-benar dapat mengudara.Tidak sebanyak sebelum acara tadi, kali ini hanya ada beberapa adik kami saja yang hadir meski telah diumumkan di setiap gedung dan area terbuka di kampus kami.Namun kami cukup bahagia dengan kehadiran seorang guru, Bapak Japar, guru Kimia kami di tahun pertama yang hadir dan melihat dari bagian belakang .Tentu saja penyempurnaan dilakukan dalam proses penerbangan.Kali ini kami menggunakan dua bilah bambu panjang untuk menjaga keseimbangan balon.Setelah pemanasan dirasa cukup, kami pun dengan yakin menerbangkan balon.Tri Roedy sebagai salah satu orang yang berkontribusi besar dalam pembuatan balon mengomandoi pelepasan balon tersebut.Sedang Marsekal Fikri Muhammad sebagai ketua angkatan kami tercinta  memegang sebuah band bertulis “HBD FORANZA”yang ditulis secara vertikal dan digantung di salah satu sisi bagian bawah balon.Balon Foranzaku mengangkasa,  menuju batas atas troposfer, dan terbang jua bersamanya mimpi, harapan, dan asa cita Forza Esperanza Sillnova—generasi impian dengan kebersamaan yang tanpa pernah pudar.



Selasa, 03 Juli 2012

Amazing Trip at Tanggamus

“Nyak demon haguk Tanggamus!”

Di liburan pergantian tahun pelajaran kali ini, saya memutuskan untuk bertualang ke  Pulau Andalasatau lebih kita kenal dengan Sumatera, tepatnya di Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung. Sebuah kabupaten dengan morfologi yang cukup menawan:gugusan pantai yang menghadap Samudera Hindia dengan gunung tinggi menjulang tepat di sampingnya. Di bawahnya terdapat perkampungan dimana teman saya, M.Yusya Asadillah tinggal bersama sanak keluarganya. Bersama Omi, Faizin, Nda, dan Tasya, saya memberanikan diri berpetualang ke pulau yang belum pernah kami pijak sebelumnya. Di perjalanan lintas pulau ini, saya berniat menghapus semua beban dan kejenuhan yang selama ini bersarang dalam pikiran saya. Menghapus kenangan yang membuat hidup ini tidak indah untuk dijalani.Juga sebuah lelucon kecil:membuktikan bahwa Tanggamus yang sering disebut-sebut itu benar-benar ada dan bukan hanya bualan teman saya yang baik itu.Ketika perjalanan dimulai, sudah tertancap kuat sebuah harapan dalam benak saya, bahwa nantinya saya akan menemukan sensasi-sensasi tiada terbayangkan di sana.

Prolog:Yang beroda dan yang tak beroda

Sesuai perencanaan Yusya sedari awal, kami berangkat dari Kampus Insan Cendekia pada malam   hari, tepat pukul setengah sembilan malam.Dimulai dengan berjalan kaki menyusuri kampung yang cukup sunyi di depan kampus, untuk kemudian menunggu angkutan umum di pinggir jalan raya. Rute keberangkatan kali ini terbilang cukup sederhana:Kampus Insan Cendekia-Pasar Serpong-Kebon Nanas-Pelabuhan Merak-Bakauheni-Tanggamus.Di Pasar Serpong kami berhenti sejenak karena ada sedikit keperluan.Sedang di Kebon Nanas kami transit sebentar di rumah saudara adik kelas kami, Susanto, yang saat itu turut serta karena memang Tanggamuslah kampung halaman Susanto–kembaran Susanti.Di Kebon Nanas pula, kami galau(baca:sabar) menanti Bus Arimbi yang mengantar kami ke Pelabuhan Merak, penghujung barat pulau yang kami huni selama ini.
Perjalanan tiga jam yang singkat namun cukup melelahkan antara Kebon Nanas hingga Merak dari pukul 00.30-03.30 dini hari semakin membuat kami  bersemangat saat itu, karena sebentar lagi kami akan mengarungi lautan lepas! Setelah mampir di Alfamart sejenak sembari melepas lelah, kami segera membeli tiket seharga Rp11.500, 00.Cukup murah menurut saya.Tidak sebanding dengan pemandangan yang akan disuguhkan olehnya di perairan Selat Sunda kelak.Ketika memasuki kapal, beberapa teman meminta mengambil kelas AC dengan menambah biaya Rp6.500, 00.Permintaan yang bisa dimengerti ketika kemudian saya mengetahui bahwa bila berada di luar, kebisingan mesin kapal, hawa panas yang dihasilkan mesin kapal, kokokan ayam dan embikan kambing (berikut baunya) akan benar-benar mengganggu perjalanan kami nantinya.Meski pada akhirnya di kelas AC yang kami pilih, para ABK memutar film jadul yang menurut pemikiran jiwa muda saya merupakan film yang sangat tidak menarik untuk ditonton.Ya, sangat tidak menarik.
Pagi menjelang, kami berjamaah salat shubuh di musholla ala kadarnya di bagian belakang kapal.Sejurus kemudian, saya tidak kembali ke tempat duduk.Ya, menjamah kapal ini merupakan keputusan yang tepat untuk ukuran orang yang belum sekalipun menyeberangi pulau dengan kapal.Air laut yang hijau–pasti banyak ganggangnya!,angin yang lembut mengalir, dan pemandangan khas Nusantara di lautan lepas:gugusan pulau yang hijau memesona membuat jiwa kami terbebas, sebebas-bebasnya.Inilah yang saya sebut sensasi pertama petualangan kami ke Tanggamus.
bagian depan kapal, di Selat Sunda

 Sekitar pukul tujuh pagi kami tiba di Pelabuhan Bakauheni.Sebelum kami melangkah keluar kapal pun, kami sudah disambut –saya menyebutnya– “mas-mas travel”.Dia menawarkan harga Rp50.000 tiap orang untuk sebuah rute perjalanan Bakauheni-Tanggamus.Menurut Yusya Sang Tuan Rumah, harga tersebut cukup rasional, maka dari itu kami langsung mengiyakan.Tancap gaasss!!!


Empat jam yang cukup melelahkan berlalu, akhirnya kami sampai di kediaman keluarga Yusya.Hijau, asri, nyaman, dan begitu homey.Kami disambut dengan hangat oleh anggota keluarga Yusya.Ibunda, adik, kakak, dan kakek-neneknya.Saat itu ayahandanya sedang tidak ada di rumah karena sedang bekerja.Di pojok depan rumahnya, ada gudang kecil tempat penyimpanan ikan asin.Kemudian di sisi sebelah kiri, terpasang spanduk kecil bertuliskan “Terapi Ion Elektrik”.Keluarga Yusya membuka terapi pengobatan sebagai penghasilan tambahan.

Omi kegirangan dengan ikan pertama (dan terakhir)nya
Sewajarnya orang setelah melakukan perjalanan jauh, kami pun beristirahat sejenak di ruang depan.Karena kedatangan kami memang berdekatan dengan jam makan siang, maka sembari melepas lelah kami menyantap makan siang ditemani sambal dan ikan asin yang nikmat.Kami juga sempat mencicipi kopi yang disangrai sendiri oleh Ibunda Yusya(sensasi kopi Lampung pertama ini membuat saya ketagihan untuk menikmatinya).Menjelang ashar, Yusya mengajak kami memancing di empang milik saudara, yang tidak jauh dari rumahnya.Dengan 2 kail milik saudaranya itu, kami berhasil mendapat 4 ekor ikan kecil.Hasil yang tidak buruk untuk seorang amatiran.
Sore menjelang, Yusya membawa kami berjalan-jalan ke kaki Gunung Tanggamus.Sebagaimana diceritakan di awal, gunung setinggi 2.100 meter ini berdiri kokoh berdampingan dengan laut lepas Samudera Hindia yang terlihat cukup tenang saat itu.Dari halaman depan rumah Yusya, gunung ini terlihat begitu tinggi dengan beberapa bagiannya tertutup awan Cumulus.Air dari gunung inilah yang mencukupi kebutuhan air bersih perkampungan di bawahnya.Dingin, segar, menyejukkan, namun tak sampai membuat ngilu tulang saat tersiram di badan.
Dengan dua sepeda motor berwarna merah dan hitam, kami dengan santainya pergi
menuju kaki gunung di senja yang berawan saat itu.Dua puluh menit perjalanan berlalu, sepeda motor yang meski masing-masing disesaki 3 orang pun tidak mengalami tantangan yang berarti, melaju perlahan melintasi jalanan naik turun dan berliku.Namun sesaat kemudian, jalan mulus seketika berubah menjadi  jalanan aspal rusak–berbatu–berdebu.Motor mulai kepayahan mendaki, hingga klimaksnya, motor yang ditunggangi Faizin “pingsan tak sadarkan diri” ketika menaiki jalan setapak.Terpaksa, kami membantu mendorongnya beberapa meter.Kami bertemu dengan bapak-bapak penggarap lahan di sana.Berbagai sayuran yang tumbuh subur dan pohon kakao yang buahnya mulai memerah.Dan ketika matahari mulai terbenam, kami memutuskan untuk kembali ke rumah.

pohon kako(coklat) yang mulai memerah

Hari ke-2:Asin dan Tawar

Tanggamus Trip di Senin yang cerah ini berdestinasikan segala yang berhubungan dengan air.Boleh dibilang, pada hari ini perjalanan yang sebenarnya dimulai.Pukul 08.40 pagi mobil Xenia biru milik tante Yusya melesat cepat menuju arah selatan.Yang saya herankan, hanya dibutuhkan 50 menit perjalan untuk bisa merasakan sejuk segarnya deretan pantai di tepi perairan Samudera Hindia ini.
Di kawasan ini, terdapat sejumlah pantai yang menawarkan pemandangan yang beragam, yang sampai detik ini saya tidak tahu pasti berapakah jumlah pantai tersebut.Namun sejauh yang saya tahu, barisan pantai tersebut tergabung dalam gugusan Teluk Semangka.Pantai pertama yang kami sambangi adalah Pantai Dramaga.Pantai ini adalah pantai yang unik, menurut saya.Berwujud seperti dermaga dengan jalan beton yang dibangun cukup panjang menghadap ke laut lepas.Ketika kami berjalan ke ujung jalan  dan menundukkan kepala jauh ke bawah, kami menjumpai ikan-ikan kecil berwarna-warni berenang kesana-kemari, soliter maupun berkoloni(membentuk gerombolan).Di pantai ini pula kami jumpai ikan Ciracas yang kami lihat secara langsung meloncat sejauh 2 meter.Atraksi tak terduga di pagi yang terik, yang cukup membuat kami berdecak kagum.
pemandangan bawah air Pantai Dramaga

loncat!!!

 Selanjutnya, Sang Driver yang juga kerabat keluarga Yusya membawa kami kepada pantai yang berhiaskan batu-batu kecil, yang kali ini saya tidak tahu namanya.Ombak pantai ini tidak terlalu ganas, setidaknya aman untuk tempat bermain air anak-anak kecil.Di tempat ini , saya sempat mengumpulkan batu-batu “lucu” dan aneh yang belum pernah saya jumpai di tempat lain. Tidak peduli orang bilang saya seperti anak kecil.
Jika di dua pantai sebelumnya kami hanya bermain air–sekadar menyejukkan mata dan pikiran, maka di pantai ketiga ini kami benar-benar menjelajahinya”.Ya, berbasah-basahan sepuasnya.Inilah view pantai yang saya cari:pantai bergradasi indah, kombinasi warna bening cerah air, selanjutnya hijau muda menyejukkan, dan disambung dengan biru tua yang menyegarkan mata.Tidak hanya itu, gugusan batu koral berwarna hitam gelap terlihat dari kejauhan yang memecah ombak makin memanjakan mata kami.Di pinggir pantai, saya menyaksikan hamparan ganggang yang sengaja dijemur oleh penduduk setempat.Benar saja, setelah saya memberanikan diri berjalan sedikit ke tengah menuju gugusan koral itu, saya menemukan ganggang yang tumbuh subur melekat di bebatuan koral.Benar-benar mengagumkan.
pantai bergradasi dengan ombak yang tenang

Hari beranjak siang, kami memutuskan untuk makan siang di pinggir pantai, tepatnya di sekitar pepohonan sekitar pantai.Menggelar tikar, menyantap perbekalan yang telah disiapkan oleh Ibunda Yusya.Hmm, suasana makan siang yang sangat jarang saya dapatkan. Teduh. Berangin tenang.
Setelah pantai ini, kami juga menyempatkan mampir barang sejenak di pantai-pantai yang lain.Sekedar menikmati panoramanya yang menenangkan pikiran, membiarkan semilir angin pesisir menerpa wajah takjub kami, ataupun mengumpulkan batu-batu kecil di pinggiran pantai–masih saja.
Masih soal air.Tujuan kami selanjutnya adalah Air Terjun Way Lalaan.Sebenarnya, bapak pengemudi yang dengn senang hati menemani kami berpetualang sedikit mempersoalkan rencana kami yang bersikeras mengunjungi yang memang sudah tersohor itu.Bukan apa-apa, beliau hanya mengkhawatirkan keselamatan kami.Beliau bercerita bahwa air terjun tersebut telah banyak menelan korban jiwa.Konon katanya, di salah satu titik kawasan air terjun tersebut terdapat turbulensi/pusaran air yang bisa menyerap sesuatu yang berada di sekitarnya.Perdebatan yang cukup panjang terjadi sebelum akhirnya kami dibolehkan, dengan catatan tidak sampai “berenang–bermandi ria” di sana.Kami pun sepakat.Sesampainya di area air terjun, kami hanya cuci muka dan membasahi kaki tangan dengan air segar yang “terbang” dari atas itu.Menurut sumber yang terpercaya, “way” dalam bahasa Lampung artinya air, sedang “lalaan” artinya pedas.Namun setelah saya sambangi langsung, air terjun ini tidak ada pedas-pedasnya.Mungkin saja, rasa pedas itu hanya ada di spot tertentu.Atau mungkin, rasa pedas itu telah sirna ditelan usia.Who knows?.Namun selain tempatnya yang indah, ada satu hal lagi yang menarik perhatian saya, yakni struktur batuan yang membuat air terjun ini kian cantik.Struktur batuan yang berbentuk seperti tiang-tiang yang bertumpuk-tumpuk serta lembaran-lembaran yang bersusun.
Air Terjun Way Lalaan


Hari 3:Saya pikir ini padang pasir yang basah kuyup…

Tepat pukul delapan lebih lima puluh enam menit, mobil melaju kencang menuju Obyek Wisata Batutegi.Obyek wisata yang terkenal dengan bendungannya,yang merupakan salah satu bendungan tertinggi di Asia Tenggara.Berupa danau buatan mahaluas yang memotong “konstelasi” perbukitan bagian timur Kabupaten Tanggamus.Menurut cerita, proses pembuatan danau ini dalam perjalanannya memakan banyak korban jiwa karena longsor, yang diakibatkan penggalian tanah yang memotong rangkaian perbukitan tersebut.Terdapat 3 alternatif tempat yang ditawarkan kawasan obyek wisata ini:bendungan, dermaga danau, dan PLTA.Dan tentu saja, kami tak mau melewatkan satu pun dari ketiganya.
Bendungan Batutegi menjadi pilihan pertama kami untuk mengawali petualangan hari ketiga sekaligus terakhir ini.Dilihat dari kejauhan, bendungan ini tampak begitu besar dan berdiri kokoh diantara perbukitan yang indah memesona.Namun sayang sekali, saya hanya bisa bercerita sebatas ini.Petugas bendungan yang  terduduk di pos depan melarang kami menjamah lebih jauh, dengan alasan sedang ada agenda penting yang dikhawatirkan akan terganggu bila ada pelancong yang masuk.Kami hanya bisa berfoto sebentar di area luar pagar.Tidak mengapa, masih ada dua tempat lagi.
Beberapa menit kemudian kami sampai di dermaga danau buatan Batutegi.Fantastis dan menakjubkan!Itulah kesan pertama yang saya tangkap ketika mulai memasuki areal dermaga ini.Awalnya saya beranggapan bahwa yang ada di depan mata saya adalah sebuah danau buatan yang mengering sehingga dasarnya yang berwarna coklat gelap terlihat jelas, seperti padang pasir yang basah kuyup.Namun ketika saya menuruni 120 anak tangga menuju pinggiran danau, saya sadar bahwa anggapan saya salah.Kenyataan yang sesungguhnya terjadi, wilayah perairan yang sengaja dibuat ini diselimuti oleh ganggang/tanaman air berwarna hijau tua-coklat kehitaman.Ya, sejak 3 tahun yang lalu, terjadi deutrofikasi(booming alga) di danau buatan ini.Hal ini disebabkan oleh terlalu melimpahya pasokan fosfor yang diangkut aliran air sungai yang menuju danau ini.Pasokan fosfor yang berlebih ini membuat laju pertumbuhan ganggang meroket tak terkendali hingga detik ini.Namun terlepas dari itu semua, tempat ini tetap saja mengagumkan.
(terlihat seperti) danau kering

Ketika melihat wisatawan lain menaiki perahu motor untuk berkeliling waduk, kami tentu saja tak mau kalah.Seorang ibu mematok harga Rp10.000, 00 untuk satu orang.Dan kami tak serta merta mengiyakan. Karena dengan kata lain, kami harus membayar Rp70.000, 00 untuk sekali berkeliling.Selanjutnya kami mencoba menawar Rp50.000, 00 untuk 7 orang penumpang.Bapak “nahkoda” perahu mengiyakan, kami pun berlayar.(Belakangan kami tahu bahwa kami sedang beruntung.Karena biasanya, 1 orang harus membayar Rp10.000, 00 jika ingin menaiki perahu, tanpa toleransi).
Dalam imajinasi saya, waduk Batutegi ini lebih terlihat seperti gugusan pulau di lautan lepas yang saya saksikan 2 hari yang lalu.Gundukan-gundukan tanah berwarna hijau nyaman dipandang, yang berkas bayangannya terpantul sempurna di perairan danau yang tenang.Kemudian ketika perahu mendekat ke bukit-bukit mungil itu, saya melihat bekas pohon-pohon yang ditebang dan sengaja dibakar.

cermin datar raksasa


Pelayaran usai, sesaat kemudian kami disuguhi fenomena yang sedikit asing di mata kami:sekelompok bapak-bapak perkasa yang berkubang di samping dermaga sedang memasukkan berpuluh kilo ganggang ke dalam kotak biruvyang berukuran kira-kira 2x2 meter dengan jaring di bawahnya.Setelah cukup penuh, kotak berjaring itu ditarik oleh katrol dengan lintasan bidang miring sejauh 120 anak tangga untuk diangkut ke daratan.Saya pikir, tumbuhan air itu akan diolah menjadi sesuatu yang bermanfaat. Namun menurut pengakuan salah seorang bapak yang asyik berkubang tadi,  onggokan itu hanya akan dipindahtempatkan alias dibuang. Coba kita renungkan, booming alga tersebut memang mengganggu keseimbangan ekologi perairan, namun setidaknya muncul satu lagi lapangan pekerjaan baru di muka bumi ini.Yes, everything is relative, just like alga in Tanggamus.
melihat bapak-bapak berkubang:)


Satu setengah jam kami menghabiskan waktu di sini, kami segera bertolak ke PLTA Batutegi, untuk melihat bagaimana kekuatan air yang mahadahsyat dapat diubah oleh otak cerdas manusia menjadi energi listrik yang memiliki kebermanfaatan nyata.Namun apa boleh buat, sekawanan petugas keamanan yang bersiaga di depan tidak mempersilakan kami masuk dengan leluasa.Mereka beralasan bahwa daerah ini “high voltage”(tegangan tinggi), berbahaya.Andaisaja kami sempat membuat surat keterangan palsu yang mengatasnamakan instansi resmi yang kami ada-adakan, maka petugas pun akan mempersilakan kami masuk, dengan menyandera surat palsu itu.Sayangnya, dari 8 orang yang berada di dalam mobil tak ada satu pun yang berpikiran sejauh itu, sebelum kami meminta izin masuk.
Matahari berada tepat di atas kepala kami, itu tandanya jam makan siang datang.Dalam perjalanan pulang, mobil yang mengantar kami berkeliling merapat sebentar ke pinggir jalan raya yang lengang untuk menggelar tikar dan makan siang di sana.Masih sama seperti kemarin, namun kali ini wujud kasih sayang seorang ibunda terungkap dalam sambal teri spesial yang kami santap sampai habis.Yummy...

Epilog:Berharap semua kan terulang

Sensasi tak terduga Obyek Wisata Batutegi tadi menutup lembaran kisah dongeng kami di Tanggamus.26 Juni pukul 5 sore, kami berangkat menuju Pelabuhan Bakauheni dengan travel car setelah berpamitan dengan seluruh sanak famili yang kebetulan sedang berada di rumah Yusya saat itu.Ibunda Yusya membawakan masing-masing 2 bungkus besar kopi khas Lampung untuk dinikmati di rumah.Dan hati kami pun bersorak.Di tengah perjalanan, kami sempatkan pula membeli oleh-oleh untuk keluarga kami.Empat jam perjalanan dengan laju mobil yang cukup cepat, dua jam lamanya mengarungi Selat Sunda dengan KMP Mufidah membuat energi kami terkuras.Pukul 1 pagi, kami telah menginjakkan kaki di Pulau Jawa.
Masih terlalu pagi untuk kembali ke kampung halaman, akhirnya kami pun memberanikan diri untuk menelepon Ibunda Diva Pasha, meminta tolong untuk dijemput dan singgah sejenak di kediaman beliau.Rumah Diva Pasha berada di Cilegon. Butuh waktu satu jam untuk sampai ke rumahnya yang berada di Komplek PCI, dekat sekolahnya dahulu, SMPIT Raudhatul Jannah.Baru sekitar pukul sebelas siang, kami melanjutkan perjalanan pulang ke rumah masing-masing, ke lima kota yang berbeda.Pulang dengan memori yang tak ternilai, tak terlupakan, tak tergantikan.

Perjalanan mungkin saja membuatmu lelah.
Perjalanan mungkin saja memaksamu mengucurkan rupiah.
Namun perjalanan akan membuatmu terbebas.
Perjalanan akan membuatmu dewasa.