Pages

Selasa, 03 Juli 2012

Amazing Trip at Tanggamus

“Nyak demon haguk Tanggamus!”

Di liburan pergantian tahun pelajaran kali ini, saya memutuskan untuk bertualang ke  Pulau Andalasatau lebih kita kenal dengan Sumatera, tepatnya di Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung. Sebuah kabupaten dengan morfologi yang cukup menawan:gugusan pantai yang menghadap Samudera Hindia dengan gunung tinggi menjulang tepat di sampingnya. Di bawahnya terdapat perkampungan dimana teman saya, M.Yusya Asadillah tinggal bersama sanak keluarganya. Bersama Omi, Faizin, Nda, dan Tasya, saya memberanikan diri berpetualang ke pulau yang belum pernah kami pijak sebelumnya. Di perjalanan lintas pulau ini, saya berniat menghapus semua beban dan kejenuhan yang selama ini bersarang dalam pikiran saya. Menghapus kenangan yang membuat hidup ini tidak indah untuk dijalani.Juga sebuah lelucon kecil:membuktikan bahwa Tanggamus yang sering disebut-sebut itu benar-benar ada dan bukan hanya bualan teman saya yang baik itu.Ketika perjalanan dimulai, sudah tertancap kuat sebuah harapan dalam benak saya, bahwa nantinya saya akan menemukan sensasi-sensasi tiada terbayangkan di sana.

Prolog:Yang beroda dan yang tak beroda

Sesuai perencanaan Yusya sedari awal, kami berangkat dari Kampus Insan Cendekia pada malam   hari, tepat pukul setengah sembilan malam.Dimulai dengan berjalan kaki menyusuri kampung yang cukup sunyi di depan kampus, untuk kemudian menunggu angkutan umum di pinggir jalan raya. Rute keberangkatan kali ini terbilang cukup sederhana:Kampus Insan Cendekia-Pasar Serpong-Kebon Nanas-Pelabuhan Merak-Bakauheni-Tanggamus.Di Pasar Serpong kami berhenti sejenak karena ada sedikit keperluan.Sedang di Kebon Nanas kami transit sebentar di rumah saudara adik kelas kami, Susanto, yang saat itu turut serta karena memang Tanggamuslah kampung halaman Susanto–kembaran Susanti.Di Kebon Nanas pula, kami galau(baca:sabar) menanti Bus Arimbi yang mengantar kami ke Pelabuhan Merak, penghujung barat pulau yang kami huni selama ini.
Perjalanan tiga jam yang singkat namun cukup melelahkan antara Kebon Nanas hingga Merak dari pukul 00.30-03.30 dini hari semakin membuat kami  bersemangat saat itu, karena sebentar lagi kami akan mengarungi lautan lepas! Setelah mampir di Alfamart sejenak sembari melepas lelah, kami segera membeli tiket seharga Rp11.500, 00.Cukup murah menurut saya.Tidak sebanding dengan pemandangan yang akan disuguhkan olehnya di perairan Selat Sunda kelak.Ketika memasuki kapal, beberapa teman meminta mengambil kelas AC dengan menambah biaya Rp6.500, 00.Permintaan yang bisa dimengerti ketika kemudian saya mengetahui bahwa bila berada di luar, kebisingan mesin kapal, hawa panas yang dihasilkan mesin kapal, kokokan ayam dan embikan kambing (berikut baunya) akan benar-benar mengganggu perjalanan kami nantinya.Meski pada akhirnya di kelas AC yang kami pilih, para ABK memutar film jadul yang menurut pemikiran jiwa muda saya merupakan film yang sangat tidak menarik untuk ditonton.Ya, sangat tidak menarik.
Pagi menjelang, kami berjamaah salat shubuh di musholla ala kadarnya di bagian belakang kapal.Sejurus kemudian, saya tidak kembali ke tempat duduk.Ya, menjamah kapal ini merupakan keputusan yang tepat untuk ukuran orang yang belum sekalipun menyeberangi pulau dengan kapal.Air laut yang hijau–pasti banyak ganggangnya!,angin yang lembut mengalir, dan pemandangan khas Nusantara di lautan lepas:gugusan pulau yang hijau memesona membuat jiwa kami terbebas, sebebas-bebasnya.Inilah yang saya sebut sensasi pertama petualangan kami ke Tanggamus.
bagian depan kapal, di Selat Sunda

 Sekitar pukul tujuh pagi kami tiba di Pelabuhan Bakauheni.Sebelum kami melangkah keluar kapal pun, kami sudah disambut –saya menyebutnya– “mas-mas travel”.Dia menawarkan harga Rp50.000 tiap orang untuk sebuah rute perjalanan Bakauheni-Tanggamus.Menurut Yusya Sang Tuan Rumah, harga tersebut cukup rasional, maka dari itu kami langsung mengiyakan.Tancap gaasss!!!


Empat jam yang cukup melelahkan berlalu, akhirnya kami sampai di kediaman keluarga Yusya.Hijau, asri, nyaman, dan begitu homey.Kami disambut dengan hangat oleh anggota keluarga Yusya.Ibunda, adik, kakak, dan kakek-neneknya.Saat itu ayahandanya sedang tidak ada di rumah karena sedang bekerja.Di pojok depan rumahnya, ada gudang kecil tempat penyimpanan ikan asin.Kemudian di sisi sebelah kiri, terpasang spanduk kecil bertuliskan “Terapi Ion Elektrik”.Keluarga Yusya membuka terapi pengobatan sebagai penghasilan tambahan.

Omi kegirangan dengan ikan pertama (dan terakhir)nya
Sewajarnya orang setelah melakukan perjalanan jauh, kami pun beristirahat sejenak di ruang depan.Karena kedatangan kami memang berdekatan dengan jam makan siang, maka sembari melepas lelah kami menyantap makan siang ditemani sambal dan ikan asin yang nikmat.Kami juga sempat mencicipi kopi yang disangrai sendiri oleh Ibunda Yusya(sensasi kopi Lampung pertama ini membuat saya ketagihan untuk menikmatinya).Menjelang ashar, Yusya mengajak kami memancing di empang milik saudara, yang tidak jauh dari rumahnya.Dengan 2 kail milik saudaranya itu, kami berhasil mendapat 4 ekor ikan kecil.Hasil yang tidak buruk untuk seorang amatiran.
Sore menjelang, Yusya membawa kami berjalan-jalan ke kaki Gunung Tanggamus.Sebagaimana diceritakan di awal, gunung setinggi 2.100 meter ini berdiri kokoh berdampingan dengan laut lepas Samudera Hindia yang terlihat cukup tenang saat itu.Dari halaman depan rumah Yusya, gunung ini terlihat begitu tinggi dengan beberapa bagiannya tertutup awan Cumulus.Air dari gunung inilah yang mencukupi kebutuhan air bersih perkampungan di bawahnya.Dingin, segar, menyejukkan, namun tak sampai membuat ngilu tulang saat tersiram di badan.
Dengan dua sepeda motor berwarna merah dan hitam, kami dengan santainya pergi
menuju kaki gunung di senja yang berawan saat itu.Dua puluh menit perjalanan berlalu, sepeda motor yang meski masing-masing disesaki 3 orang pun tidak mengalami tantangan yang berarti, melaju perlahan melintasi jalanan naik turun dan berliku.Namun sesaat kemudian, jalan mulus seketika berubah menjadi  jalanan aspal rusak–berbatu–berdebu.Motor mulai kepayahan mendaki, hingga klimaksnya, motor yang ditunggangi Faizin “pingsan tak sadarkan diri” ketika menaiki jalan setapak.Terpaksa, kami membantu mendorongnya beberapa meter.Kami bertemu dengan bapak-bapak penggarap lahan di sana.Berbagai sayuran yang tumbuh subur dan pohon kakao yang buahnya mulai memerah.Dan ketika matahari mulai terbenam, kami memutuskan untuk kembali ke rumah.

pohon kako(coklat) yang mulai memerah

Hari ke-2:Asin dan Tawar

Tanggamus Trip di Senin yang cerah ini berdestinasikan segala yang berhubungan dengan air.Boleh dibilang, pada hari ini perjalanan yang sebenarnya dimulai.Pukul 08.40 pagi mobil Xenia biru milik tante Yusya melesat cepat menuju arah selatan.Yang saya herankan, hanya dibutuhkan 50 menit perjalan untuk bisa merasakan sejuk segarnya deretan pantai di tepi perairan Samudera Hindia ini.
Di kawasan ini, terdapat sejumlah pantai yang menawarkan pemandangan yang beragam, yang sampai detik ini saya tidak tahu pasti berapakah jumlah pantai tersebut.Namun sejauh yang saya tahu, barisan pantai tersebut tergabung dalam gugusan Teluk Semangka.Pantai pertama yang kami sambangi adalah Pantai Dramaga.Pantai ini adalah pantai yang unik, menurut saya.Berwujud seperti dermaga dengan jalan beton yang dibangun cukup panjang menghadap ke laut lepas.Ketika kami berjalan ke ujung jalan  dan menundukkan kepala jauh ke bawah, kami menjumpai ikan-ikan kecil berwarna-warni berenang kesana-kemari, soliter maupun berkoloni(membentuk gerombolan).Di pantai ini pula kami jumpai ikan Ciracas yang kami lihat secara langsung meloncat sejauh 2 meter.Atraksi tak terduga di pagi yang terik, yang cukup membuat kami berdecak kagum.
pemandangan bawah air Pantai Dramaga

loncat!!!

 Selanjutnya, Sang Driver yang juga kerabat keluarga Yusya membawa kami kepada pantai yang berhiaskan batu-batu kecil, yang kali ini saya tidak tahu namanya.Ombak pantai ini tidak terlalu ganas, setidaknya aman untuk tempat bermain air anak-anak kecil.Di tempat ini , saya sempat mengumpulkan batu-batu “lucu” dan aneh yang belum pernah saya jumpai di tempat lain. Tidak peduli orang bilang saya seperti anak kecil.
Jika di dua pantai sebelumnya kami hanya bermain air–sekadar menyejukkan mata dan pikiran, maka di pantai ketiga ini kami benar-benar menjelajahinya”.Ya, berbasah-basahan sepuasnya.Inilah view pantai yang saya cari:pantai bergradasi indah, kombinasi warna bening cerah air, selanjutnya hijau muda menyejukkan, dan disambung dengan biru tua yang menyegarkan mata.Tidak hanya itu, gugusan batu koral berwarna hitam gelap terlihat dari kejauhan yang memecah ombak makin memanjakan mata kami.Di pinggir pantai, saya menyaksikan hamparan ganggang yang sengaja dijemur oleh penduduk setempat.Benar saja, setelah saya memberanikan diri berjalan sedikit ke tengah menuju gugusan koral itu, saya menemukan ganggang yang tumbuh subur melekat di bebatuan koral.Benar-benar mengagumkan.
pantai bergradasi dengan ombak yang tenang

Hari beranjak siang, kami memutuskan untuk makan siang di pinggir pantai, tepatnya di sekitar pepohonan sekitar pantai.Menggelar tikar, menyantap perbekalan yang telah disiapkan oleh Ibunda Yusya.Hmm, suasana makan siang yang sangat jarang saya dapatkan. Teduh. Berangin tenang.
Setelah pantai ini, kami juga menyempatkan mampir barang sejenak di pantai-pantai yang lain.Sekedar menikmati panoramanya yang menenangkan pikiran, membiarkan semilir angin pesisir menerpa wajah takjub kami, ataupun mengumpulkan batu-batu kecil di pinggiran pantai–masih saja.
Masih soal air.Tujuan kami selanjutnya adalah Air Terjun Way Lalaan.Sebenarnya, bapak pengemudi yang dengn senang hati menemani kami berpetualang sedikit mempersoalkan rencana kami yang bersikeras mengunjungi yang memang sudah tersohor itu.Bukan apa-apa, beliau hanya mengkhawatirkan keselamatan kami.Beliau bercerita bahwa air terjun tersebut telah banyak menelan korban jiwa.Konon katanya, di salah satu titik kawasan air terjun tersebut terdapat turbulensi/pusaran air yang bisa menyerap sesuatu yang berada di sekitarnya.Perdebatan yang cukup panjang terjadi sebelum akhirnya kami dibolehkan, dengan catatan tidak sampai “berenang–bermandi ria” di sana.Kami pun sepakat.Sesampainya di area air terjun, kami hanya cuci muka dan membasahi kaki tangan dengan air segar yang “terbang” dari atas itu.Menurut sumber yang terpercaya, “way” dalam bahasa Lampung artinya air, sedang “lalaan” artinya pedas.Namun setelah saya sambangi langsung, air terjun ini tidak ada pedas-pedasnya.Mungkin saja, rasa pedas itu hanya ada di spot tertentu.Atau mungkin, rasa pedas itu telah sirna ditelan usia.Who knows?.Namun selain tempatnya yang indah, ada satu hal lagi yang menarik perhatian saya, yakni struktur batuan yang membuat air terjun ini kian cantik.Struktur batuan yang berbentuk seperti tiang-tiang yang bertumpuk-tumpuk serta lembaran-lembaran yang bersusun.
Air Terjun Way Lalaan


Hari 3:Saya pikir ini padang pasir yang basah kuyup…

Tepat pukul delapan lebih lima puluh enam menit, mobil melaju kencang menuju Obyek Wisata Batutegi.Obyek wisata yang terkenal dengan bendungannya,yang merupakan salah satu bendungan tertinggi di Asia Tenggara.Berupa danau buatan mahaluas yang memotong “konstelasi” perbukitan bagian timur Kabupaten Tanggamus.Menurut cerita, proses pembuatan danau ini dalam perjalanannya memakan banyak korban jiwa karena longsor, yang diakibatkan penggalian tanah yang memotong rangkaian perbukitan tersebut.Terdapat 3 alternatif tempat yang ditawarkan kawasan obyek wisata ini:bendungan, dermaga danau, dan PLTA.Dan tentu saja, kami tak mau melewatkan satu pun dari ketiganya.
Bendungan Batutegi menjadi pilihan pertama kami untuk mengawali petualangan hari ketiga sekaligus terakhir ini.Dilihat dari kejauhan, bendungan ini tampak begitu besar dan berdiri kokoh diantara perbukitan yang indah memesona.Namun sayang sekali, saya hanya bisa bercerita sebatas ini.Petugas bendungan yang  terduduk di pos depan melarang kami menjamah lebih jauh, dengan alasan sedang ada agenda penting yang dikhawatirkan akan terganggu bila ada pelancong yang masuk.Kami hanya bisa berfoto sebentar di area luar pagar.Tidak mengapa, masih ada dua tempat lagi.
Beberapa menit kemudian kami sampai di dermaga danau buatan Batutegi.Fantastis dan menakjubkan!Itulah kesan pertama yang saya tangkap ketika mulai memasuki areal dermaga ini.Awalnya saya beranggapan bahwa yang ada di depan mata saya adalah sebuah danau buatan yang mengering sehingga dasarnya yang berwarna coklat gelap terlihat jelas, seperti padang pasir yang basah kuyup.Namun ketika saya menuruni 120 anak tangga menuju pinggiran danau, saya sadar bahwa anggapan saya salah.Kenyataan yang sesungguhnya terjadi, wilayah perairan yang sengaja dibuat ini diselimuti oleh ganggang/tanaman air berwarna hijau tua-coklat kehitaman.Ya, sejak 3 tahun yang lalu, terjadi deutrofikasi(booming alga) di danau buatan ini.Hal ini disebabkan oleh terlalu melimpahya pasokan fosfor yang diangkut aliran air sungai yang menuju danau ini.Pasokan fosfor yang berlebih ini membuat laju pertumbuhan ganggang meroket tak terkendali hingga detik ini.Namun terlepas dari itu semua, tempat ini tetap saja mengagumkan.
(terlihat seperti) danau kering

Ketika melihat wisatawan lain menaiki perahu motor untuk berkeliling waduk, kami tentu saja tak mau kalah.Seorang ibu mematok harga Rp10.000, 00 untuk satu orang.Dan kami tak serta merta mengiyakan. Karena dengan kata lain, kami harus membayar Rp70.000, 00 untuk sekali berkeliling.Selanjutnya kami mencoba menawar Rp50.000, 00 untuk 7 orang penumpang.Bapak “nahkoda” perahu mengiyakan, kami pun berlayar.(Belakangan kami tahu bahwa kami sedang beruntung.Karena biasanya, 1 orang harus membayar Rp10.000, 00 jika ingin menaiki perahu, tanpa toleransi).
Dalam imajinasi saya, waduk Batutegi ini lebih terlihat seperti gugusan pulau di lautan lepas yang saya saksikan 2 hari yang lalu.Gundukan-gundukan tanah berwarna hijau nyaman dipandang, yang berkas bayangannya terpantul sempurna di perairan danau yang tenang.Kemudian ketika perahu mendekat ke bukit-bukit mungil itu, saya melihat bekas pohon-pohon yang ditebang dan sengaja dibakar.

cermin datar raksasa


Pelayaran usai, sesaat kemudian kami disuguhi fenomena yang sedikit asing di mata kami:sekelompok bapak-bapak perkasa yang berkubang di samping dermaga sedang memasukkan berpuluh kilo ganggang ke dalam kotak biruvyang berukuran kira-kira 2x2 meter dengan jaring di bawahnya.Setelah cukup penuh, kotak berjaring itu ditarik oleh katrol dengan lintasan bidang miring sejauh 120 anak tangga untuk diangkut ke daratan.Saya pikir, tumbuhan air itu akan diolah menjadi sesuatu yang bermanfaat. Namun menurut pengakuan salah seorang bapak yang asyik berkubang tadi,  onggokan itu hanya akan dipindahtempatkan alias dibuang. Coba kita renungkan, booming alga tersebut memang mengganggu keseimbangan ekologi perairan, namun setidaknya muncul satu lagi lapangan pekerjaan baru di muka bumi ini.Yes, everything is relative, just like alga in Tanggamus.
melihat bapak-bapak berkubang:)


Satu setengah jam kami menghabiskan waktu di sini, kami segera bertolak ke PLTA Batutegi, untuk melihat bagaimana kekuatan air yang mahadahsyat dapat diubah oleh otak cerdas manusia menjadi energi listrik yang memiliki kebermanfaatan nyata.Namun apa boleh buat, sekawanan petugas keamanan yang bersiaga di depan tidak mempersilakan kami masuk dengan leluasa.Mereka beralasan bahwa daerah ini “high voltage”(tegangan tinggi), berbahaya.Andaisaja kami sempat membuat surat keterangan palsu yang mengatasnamakan instansi resmi yang kami ada-adakan, maka petugas pun akan mempersilakan kami masuk, dengan menyandera surat palsu itu.Sayangnya, dari 8 orang yang berada di dalam mobil tak ada satu pun yang berpikiran sejauh itu, sebelum kami meminta izin masuk.
Matahari berada tepat di atas kepala kami, itu tandanya jam makan siang datang.Dalam perjalanan pulang, mobil yang mengantar kami berkeliling merapat sebentar ke pinggir jalan raya yang lengang untuk menggelar tikar dan makan siang di sana.Masih sama seperti kemarin, namun kali ini wujud kasih sayang seorang ibunda terungkap dalam sambal teri spesial yang kami santap sampai habis.Yummy...

Epilog:Berharap semua kan terulang

Sensasi tak terduga Obyek Wisata Batutegi tadi menutup lembaran kisah dongeng kami di Tanggamus.26 Juni pukul 5 sore, kami berangkat menuju Pelabuhan Bakauheni dengan travel car setelah berpamitan dengan seluruh sanak famili yang kebetulan sedang berada di rumah Yusya saat itu.Ibunda Yusya membawakan masing-masing 2 bungkus besar kopi khas Lampung untuk dinikmati di rumah.Dan hati kami pun bersorak.Di tengah perjalanan, kami sempatkan pula membeli oleh-oleh untuk keluarga kami.Empat jam perjalanan dengan laju mobil yang cukup cepat, dua jam lamanya mengarungi Selat Sunda dengan KMP Mufidah membuat energi kami terkuras.Pukul 1 pagi, kami telah menginjakkan kaki di Pulau Jawa.
Masih terlalu pagi untuk kembali ke kampung halaman, akhirnya kami pun memberanikan diri untuk menelepon Ibunda Diva Pasha, meminta tolong untuk dijemput dan singgah sejenak di kediaman beliau.Rumah Diva Pasha berada di Cilegon. Butuh waktu satu jam untuk sampai ke rumahnya yang berada di Komplek PCI, dekat sekolahnya dahulu, SMPIT Raudhatul Jannah.Baru sekitar pukul sebelas siang, kami melanjutkan perjalanan pulang ke rumah masing-masing, ke lima kota yang berbeda.Pulang dengan memori yang tak ternilai, tak terlupakan, tak tergantikan.

Perjalanan mungkin saja membuatmu lelah.
Perjalanan mungkin saja memaksamu mengucurkan rupiah.
Namun perjalanan akan membuatmu terbebas.
Perjalanan akan membuatmu dewasa.





7 komentar:

  1. waaaa *.*
    seruu banget
    tempat favorit setelah baca artikel ini: air terjun way lalaan

    BalasHapus
  2. ntar nau di ic,ada kejutan buat kelas geografi+anak kbs taun depan,

    BalasHapus
  3. Nice journey and nice report! There is a whole world around us just waiting to be explored...haha,jadi pingin next trip ramerame. Ayo wan,faizin,omi,yusya,nda,talqas dan semuanya. Rancang dan explore kebesaranNya. Karena esensi dari berpetualang adalah merasakan betapa kerdilnya kita dihadapan Yang Maha Kuasa. Good travelers!

    BalasHapus
  4. kurang foto2nya waaaaaannn...
    tapi sumpah!
    NAGIH! haha

    BalasHapus
  5. ayo...next holiday kemana kita akan bertualang, kawan2?

    BalasHapus
  6. salam kenal mas Ichwan. Saya senang sekali baca blog mas. Sukses terus ya!

    BalasHapus
  7. Sands Casino Review | SEGP.COM
    Sands Casino is one of the first Las Vegas-style casinos to open a new 샌즈 카지노 회원가입 online gambling destination in Sin City. The online casino was launched in 1994 and  Rating: 4 · ‎Review by Terrisa Meeks

    BalasHapus