Pages

Senin, 19 November 2012

Sosio-Antro Field Trip

-->


Sebelumnya saya hendak bersyukur pada Allah karena telah mengilhami bapak nomor satu di sekolah saya untuk memperkenankan anak-anaknya menghirup udara bebas.
Kemudian saya juga sepatutnya bersyukur pada-Nya, karena serangkaian skenario tidak mengenakkan yang menimpa saya jumat-sabtu kemarin menyuguhi saya pertunjukan sosio antropologis ini.

Dalam bayangan saya, fenomena sosio-antropologis adalah segala realita yang terjadi dalam kehidupan manusia yang benar-benar menggambarkan karakter manusia dalam menghadapi kondisi sekitarnya. Dan saya pun mendapati hampir semua pemandangan manusia ini dalam gerbong kereta lokal dan angkutan umum yang ngebut-berhenti di jalanan ibu kota.

Begitu banyak karakter manusia yang tercermin di sini. Tentang bagaimana cara ia mengekspresikan hal yang menjadi kesenangan dalam hidupnya. Tentang proses cerdik untuk mendapatkan apa yang ia inginkan tanpa membuat orang lain berang, tapi malah membuat orang lain terkaget. Kemudian sebuah masalah klasik−himpitan ekonomi yang memaksa orang untuk tidak lagi mempedulikan raganya dan rasa malu dan terendahkan yang akan terus melekat di dadanya.

Ketika saya menumpang sebuah bus kota, Mayasari Bhakti kalau tidak salah, seorang bapak masuk ke bus saya. Rambut gondrong hingga sebahu, celana jeans longgar−bukan trend saat ini, dan kaos hitam bertuliskan TU-KANG-JA-LAN. Awalnya saya kurang mengerti apa yang akan 'ditunjukkan' oleh bapak gondrong ini.

Sejauh pengalaman saya, biasanya yang ada dalam bus kota adalah sopir dan asistennya, para penumpang yang kepanasan, penjaja makanan ataupun pernak-pernik dagangan, pengamen−solo atau berkoloni, ataupun mas-mas semi preman yang berpidato sebentar lalu meminta uang yang terkadang disertai intervensi, dengan curhatan khasnya, “Bapak-bapak ibu-ibu, saya baru keluar dari penjara dan belum punya uang. Daripada saya berbuat kerusakan di sini, lebih baik bapak dan ibu sekalian memberi sedikit belas kasihan pada saya.” Yang kemudian ditutup dengan doa “hati-hati di jalan”nya.

Semakin penasaran saja, apa yang akan dipertunjukkan oleh bapak ini. Ia pun berjalan ke depan dan berdiri dekat tempat duduk saya. Ternyata eh ternyata, bapak ini berpidato singkat. Bukan mengintimidasi seperti yang pernah saya jumpai, namun ia malah memberikan pesan ajakan tentang demokrasi dan anti-korupsi. Super sekali bapak gondrong ini. Dengan sedikit percakapan yang ia peragakan seorang diri dan intonasi yang berapi-api, ia berusaha meneriakkan pesan moral ini, termasuk mengajak seisi bus kota berjuang memajukan Indonesia.

Sedikit banyak, saya terkejut dengan pemandangan ini. Barangkali, bapak ini adalah seorang aktivis LSM yang tidak memiliki pekerjaan. Sehingga mencari uang dengan tetap membawa misi demokrasi dan pembangunan negeri. Atau mungkin, hari itu adalah hari libur kerjanya dan ia iseng jalan-jalan keliling Jakarta sambil nyari uang gopek-seceng.

Kemudian saya juga bersua dengan seorang bapak bertopi dengan public speaking skill yang luar biasa oke. Dia ini membawa barang dagangan spot light kecil dengan bonus batu baterai satu kemasan. Poin positif yang saya tangkap adalah kemampuan berbicaranya. Gaya bicaranya cepat dan lancar, hanya sedikit jeda.” ...lampuspotlightkecilinibisamenjangkau10meter....sangatbergunaketikamatilampu ataumenemanianakandabelajar....hanyasepuluhriburupiahbonusbateraisebanyaksatulembar...”. Sengaja saya tulis tanpa spasi, karena memang seperti ini kedengarannya. Cepat. Saya pikir bapak ini bisa mencapai kemampuan seperti ini bukan dengan belajar pada guru, tapi ia ada datang dengan pengucapan berkali-kali setiap harinya. Tidak ingin berlama-lama di dalam bis tetapi tetap mendapat pelanggan. Saya semakin percaya, begitu banyak kemampuan bisa anda kuasai di luar pendidikan formal.

Sosio-Antro Field Trip saya berlanjut ke gerbong kereta lokal kesayangan rakyat Jakarta. Ketika berada dalam kereta commuter line yang ber-AC dan tak ada penjual, satu hal yang saya lihat. Ternyata norma susila, rasa peduli dan sikap tak egois masih bernapas di negeri ini. Saya menyaksikan seorang lelaki yang mempersilahkan duduk seorang wanita. Di negara saya, Indonesia, “hukum” ini memang telah diajarkan, baik pada mereka yang bersekolah, ataupun yang tak pernah memiliki guru sekalipun. Bagaimana dengan negara di belahan bumi lain? Prancis..Swiss mungkin? Saya belum berani memastikan. Mungkin suatu saat saya akan mengeceknya.

Perjalanan belum selesai. Pada libur singkat ini, saya juga sempat naik kereta ekonomi lokal yang harga tiketnya sangat merakyat itu. Di sini, saya lebih banyak lagi menjumpai fenomena ke”manusia”an.

Di dunia ini mungkin ada orang yang hidup dengan tidak menonjolkan identitasnya. Tetapi sepertinya lebih banyak orang menjalani hidup dengan sangat bangga menunjukkan jati dirinya. Anda mungkin dapat menebak beberapa diantaranya yang berada di gerbong merakyat ini. Ya, benar. Di sana, saya melihat mas-mas berlipstik sedang duduk santai dengan pekaian “wah”nya. Sepertinya telah banyak tugas akhir mahasiswa ataupun penilitian para akademisi yang menjadikan kaum ini menjadi judul depan kajian mereka.

Terlepas dari betapa penyimpangan mereka sangat membuat hati miris, paling tidak kita dapat mencontoh karakter percaya diri mereka. Bahwa ketika keyakinan telah terpatri, apa saja sangat mungkin dilakukan.Apa pun yang kita inginkan dan apa pun yang kita sukai.

Tidak ketinggalan pula, beberapa penampakan lain yang pasti pernah kita temui, tetapi jarang kita terawang lebih banyak. Para peminta dan penjaja makanan. Sebenarnya saya tidak ingin memihak pada salah satunya, namun saya hanya mencoba memberikan pendapat. Tidak tahu kenapa, saya lebih sangat menghargai bapak-mas-ibu asongan yang dengan gigih meneriakkan barang dagangan penentu takdir kehidupannya daripada orang-orang yang hanya gemar meminta belas kasih dan menghadapkan telapak tangannya ke langit.
Seminggu lalu, seorang syekh di sekolah saya memberi petuah tentang pentingya memakan rizki hasil keringat sendiri. Sontak, saya pun jadi teringat. Pastilah sudah tertanam dalam pikiran para pengasong, bahwa rezeki itu harus dicari dengan halal meski harus mengorbankan raga dan gengsi. Mungkin dalam setiap teriakan dan penawarannya pada para penumpang, terbersit bayangan wajah sanak familinya yang selalu berharap dagangan ayah-ibunya laku keras, yang dengan sakti menolak keinginan raganya untuk berhenti melangkah. Dan para peminta, saya kurang mengerti apakah mereka putus asa, atau sebenarnya ada “sesuatu yang bisa dilakukan” namun mereka memutuskan untuk tidak melakukannya untuk kehidupan mereka. “ Kupertaruhkan nafasku hari ini pada belas kasih orang-orang...” demikian ungkapnya barang kali.

Perjalanan singkat yang melelahkan, namun memberi banyak pelajaran.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar