Sebelumnya
saya hendak bersyukur pada Allah karena telah mengilhami bapak nomor
satu di sekolah saya untuk memperkenankan anak-anaknya menghirup
udara bebas.
Kemudian
saya juga sepatutnya bersyukur pada-Nya, karena serangkaian skenario
tidak mengenakkan yang menimpa saya jumat-sabtu kemarin menyuguhi
saya pertunjukan sosio antropologis ini.
Dalam
bayangan saya, fenomena sosio-antropologis adalah segala realita yang
terjadi dalam kehidupan manusia yang benar-benar menggambarkan
karakter manusia dalam menghadapi kondisi sekitarnya. Dan saya pun
mendapati hampir semua pemandangan manusia ini dalam gerbong kereta
lokal dan angkutan umum yang ngebut-berhenti di jalanan ibu kota.
Begitu
banyak karakter manusia yang tercermin di sini. Tentang bagaimana
cara ia mengekspresikan hal yang menjadi kesenangan dalam hidupnya.
Tentang proses cerdik untuk mendapatkan apa yang ia inginkan tanpa
membuat orang lain berang, tapi malah membuat orang lain terkaget.
Kemudian sebuah masalah klasik−himpitan
ekonomi yang memaksa orang untuk tidak lagi mempedulikan raganya dan
rasa malu dan terendahkan yang akan terus melekat di dadanya.
Ketika
saya menumpang sebuah bus kota, Mayasari Bhakti kalau tidak salah,
seorang bapak masuk ke bus saya. Rambut gondrong hingga sebahu,
celana jeans longgar−bukan trend saat ini, dan kaos hitam
bertuliskan TU-KANG-JA-LAN. Awalnya saya kurang mengerti apa yang
akan 'ditunjukkan' oleh bapak gondrong ini.
Sejauh
pengalaman saya, biasanya yang ada dalam bus kota adalah sopir dan
asistennya, para penumpang yang kepanasan, penjaja makanan ataupun
pernak-pernik dagangan, pengamen−solo atau berkoloni, ataupun
mas-mas semi preman yang berpidato sebentar lalu meminta uang yang
terkadang disertai intervensi, dengan curhatan khasnya, “Bapak-bapak
ibu-ibu, saya baru keluar dari penjara dan belum punya uang. Daripada
saya berbuat kerusakan di sini, lebih baik bapak dan ibu sekalian
memberi sedikit belas kasihan pada saya.” Yang kemudian ditutup
dengan doa “hati-hati di jalan”nya.
Semakin
penasaran saja, apa yang akan dipertunjukkan oleh bapak ini. Ia pun
berjalan ke depan dan berdiri dekat tempat duduk saya. Ternyata eh
ternyata, bapak ini berpidato singkat. Bukan mengintimidasi seperti
yang pernah saya jumpai, namun ia malah memberikan pesan ajakan
tentang demokrasi dan anti-korupsi. Super sekali bapak gondrong ini.
Dengan sedikit percakapan yang ia peragakan seorang diri dan intonasi
yang berapi-api, ia berusaha meneriakkan pesan moral ini, termasuk
mengajak seisi bus kota berjuang memajukan Indonesia.
Sedikit
banyak, saya terkejut dengan pemandangan ini. Barangkali, bapak ini
adalah seorang aktivis LSM yang tidak memiliki pekerjaan. Sehingga
mencari uang dengan tetap membawa misi demokrasi dan pembangunan
negeri. Atau mungkin, hari itu adalah hari libur kerjanya dan ia
iseng jalan-jalan keliling Jakarta sambil nyari uang gopek-seceng.
Kemudian
saya juga bersua dengan seorang bapak bertopi dengan public speaking
skill yang luar biasa oke. Dia ini membawa barang dagangan spot light
kecil dengan bonus batu baterai satu kemasan. Poin positif yang saya
tangkap adalah kemampuan berbicaranya. Gaya bicaranya cepat dan
lancar, hanya sedikit jeda.”
...lampuspotlightkecilinibisamenjangkau10meter....sangatbergunaketikamatilampu
ataumenemanianakandabelajar....hanyasepuluhriburupiahbonusbateraisebanyaksatulembar...”.
Sengaja saya tulis tanpa spasi, karena memang seperti ini
kedengarannya. Cepat. Saya pikir bapak ini bisa mencapai kemampuan
seperti ini bukan dengan belajar pada guru, tapi ia ada datang dengan
pengucapan berkali-kali setiap harinya. Tidak ingin berlama-lama di
dalam bis tetapi tetap mendapat pelanggan. Saya semakin percaya,
begitu banyak kemampuan bisa anda kuasai di luar pendidikan formal.
Sosio-Antro
Field Trip saya berlanjut ke gerbong kereta lokal kesayangan rakyat
Jakarta. Ketika berada dalam kereta commuter line yang ber-AC dan tak
ada penjual, satu hal yang saya lihat. Ternyata norma susila, rasa
peduli dan sikap tak egois masih bernapas di negeri ini. Saya
menyaksikan seorang lelaki yang mempersilahkan duduk seorang wanita.
Di negara saya, Indonesia, “hukum” ini memang telah diajarkan,
baik pada mereka yang bersekolah, ataupun yang tak pernah memiliki
guru sekalipun. Bagaimana dengan negara di belahan bumi lain?
Prancis..Swiss mungkin? Saya belum berani memastikan. Mungkin suatu
saat saya akan mengeceknya.
Perjalanan
belum selesai. Pada libur singkat ini, saya juga sempat naik kereta
ekonomi lokal yang harga tiketnya sangat merakyat itu. Di sini, saya
lebih banyak lagi menjumpai fenomena ke”manusia”an.
Di
dunia ini mungkin ada orang yang hidup dengan tidak menonjolkan
identitasnya. Tetapi sepertinya lebih banyak orang menjalani hidup
dengan sangat bangga menunjukkan jati dirinya. Anda mungkin dapat
menebak beberapa diantaranya yang berada di gerbong merakyat ini. Ya,
benar. Di sana, saya melihat mas-mas berlipstik sedang duduk santai
dengan pekaian “wah”nya. Sepertinya telah banyak tugas akhir
mahasiswa ataupun penilitian para akademisi yang menjadikan kaum ini
menjadi judul depan kajian mereka.
Terlepas
dari betapa penyimpangan mereka sangat membuat hati miris, paling
tidak kita dapat mencontoh karakter percaya diri mereka. Bahwa ketika
keyakinan telah terpatri, apa saja sangat mungkin dilakukan.Apa pun
yang kita inginkan dan apa pun yang kita sukai.
Tidak
ketinggalan pula, beberapa penampakan lain yang pasti pernah kita
temui, tetapi jarang kita terawang lebih banyak. Para peminta dan
penjaja makanan. Sebenarnya saya tidak ingin memihak pada salah
satunya, namun saya hanya mencoba memberikan pendapat. Tidak tahu
kenapa, saya lebih sangat menghargai bapak-mas-ibu asongan yang
dengan gigih meneriakkan barang dagangan penentu takdir kehidupannya
daripada orang-orang yang hanya gemar meminta belas kasih dan
menghadapkan telapak tangannya ke langit.
Seminggu
lalu, seorang syekh di sekolah saya memberi petuah tentang pentingya
memakan rizki hasil keringat sendiri. Sontak, saya pun jadi teringat.
Pastilah sudah tertanam dalam pikiran para pengasong, bahwa rezeki
itu harus dicari dengan halal meski harus mengorbankan raga dan
gengsi. Mungkin dalam setiap teriakan dan penawarannya pada para
penumpang, terbersit bayangan wajah sanak familinya yang selalu
berharap dagangan ayah-ibunya laku keras, yang dengan sakti menolak
keinginan raganya untuk berhenti melangkah. Dan para peminta, saya
kurang mengerti apakah mereka putus asa, atau sebenarnya ada “sesuatu
yang bisa dilakukan” namun mereka memutuskan untuk tidak
melakukannya untuk kehidupan mereka. “ Kupertaruhkan nafasku hari
ini pada belas kasih orang-orang...” demikian ungkapnya barang
kali.
Perjalanan
singkat yang melelahkan, namun memberi banyak pelajaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar