Pages

Minggu, 30 Desember 2012

Paruh ke Lima: Lara dan Kecewa


Merah…Biru...Hijau...Hitam...Kuning...Jingga…Hitam…Abu…Abu…Abu…Hitam…Hitam…Kelam…Kelam…Kelam…Kelam…
Jika banyak orang berpendapat bahwa perjalanan hidup ini seperti spectrum warna pada pelangi selepas hujan, memang benar adanya. Jika kemudian para pecinta angka berkelakar, bahwa kehidupan ini seperti grafik fungsi kuadrat atau berpangkat-pangkat, memang tidak salah. Dan terlebih bagi saya, itu semua begitu relevan dengan apa yang terjadi pada paruh ke lima perjalanan dunia fantasi saya yang sekarang, Insan Cendekia, institusi yang istimewa tiada banding.

Dua tahun telah terlewati dengan begitu singkat, hingga akhirnya terlewati pula setengah jalan dari tahun terakhir saya di sini.Begitu banyak kejutan menimpa, begitu banyak hal di luar rencana dan perhitungan jari tangan saya selama ini.

Di awal tahun, saya berkesempatan mengikuti salah satu ajang bergengsi negeri ini.Takdir mengantarkan saya pada banyak pengalaman manis dan menakjubkan. Mendapat curahan ilmu dari orang-orang hebat, bertemu berbagai ‘bentuk’ orang dari seluruh Indonesia: rupanya, penampilannya, lakunya, nada bicaranya, hingga perangainya. Bahwa sekali ini saya membuktikan, negara ini kaya akan ragam. Termasuk juga, hal-hal lain yang diinginkan anak sekolah dewasa ini:kabur dari jam sekolah (meski ini saya lakukan dengan legal). Pada bagian ini, tentunya saya wajib bersyukur sejadi-jadinya atas kenikmatan yang hanya sedikit orang yang merasakan.

Perahu masih terus berlayar. Meski itu semua tidak berakhir dengan sesuatu yang diharapkan, saya mencoba mengerti semuanya dengan mendewasakan pikiran. Bertukar pikiran dengan orang-orang yang tepat dan ‘bisa diajak bicara’ cukup memberi banyak andil untuk membuat kondisi psikis tetap tenang.Ya, saya bisa menerimanya. Kenyataan.

Saya kembali menjadi murid yang seutuhnya.Tidak ada main-main dan ‘bolos sekolah’ lagi.Masih ada tiga bulan yang masih bisa saya lalui, beriringan dengan 115 teman-teman Foranza yang lain, pikir saya. Ikut tertawa, mengerjai teman yang lain, tugas kelompok mungkin, hingga dimarahi bersama. Pada bagian ini, semangat saya seperti kulit ular:berganti, lebih mengkilat dari sebelumnya.

Di awal saya sendiri mencoba memaklumi. Hasil yang buruk ini memang karena saya mengerjakan butir-butir soal yang materinya tak saya hadiri di kelas dengan normal.Kala itu saya hanya mendapat beberapa pengajaran susulan yang singkat, yang menuntut saya untuk memahami lebih dalam seorang diri. Dan kebetulan, saya tidak bisa mengikuti cara seperti ini. Jadilah nilai di atas kertas itu tak bisa menggambarkan nilai yang ‘murni’ menurut pribadi saya.Sedang sisi yang tidak bisa saya perjuangkan adalah tentang kebijakan coba-coba oleh sekolah yang meniadakan perbaikan nilai ujian tengah yang sebelumnya ada pada tahun yang lalu.Menyerah” menurut teman saya adalah ketika tak ada hal terbaik yang bisa dilakukan meski sebenarnya saya mau melakukannya. Dan pada bagian ini, saya menyerah, karena memang tak ada yang bisa diperjuangkan lagi, kan?

Inilah bagian yang saya sebut di luar perhitungan jari tangan saya, alias prasangka saya terhadap setiap hal. Semua saya lalui dengan rasa yang ringan, namun hampir semua menunjukkan hasil yang tak indah dipandang. Sekitar satu bulan lebih lamanya saya menjalani, banyak hal berbuntut kurang menyenangkan. Barangkali saya telah mengambil sikap yang salah. Mungkin saya kurang panik dari yang seharusnya, haha. Mungkin bersantai dengan keadaan adalah bukan sikap yang seharusnya saya ambil untuk bagian-bagian yang kemudian terasa sangat penting ini. Apakah menggebu-gebu adalah satu yang tepat untuk ini semua?

Dissapointing moment sepertinya belum mau beranjak. Saya adalah siswa tahun ketiga, dan saya harus melanjutkan studi ke arah mata angin yang lain. Dan untuk kedua kalinya, saya dikhianati sistem yang disetujui pihak yang berkuasa.Ah, andai saja sayalah orang yang berkuasa itu, pikir saya. Sistem penerimaan di universitas menjadikan nilai raport sebagai acuan. Makin menjadilah masalah saya tempo hari. Dengan apa saya akan mendaftar? Mana mungkin nilai seperti itu akan diindahkan? Tidak bisa diperjuangkan lagi memang.Tidak ada selain menanti keajaiban datang, nanti, di saat yang tepat. Otak semakin keras berpikir, namun tidak ada kecuali hasil yang nihil.

Sembari berharap, bolehlah saya sebut masa ini sebagai titik terendah perjalanan mengais-ngais ilmu Allah yang begitu luas dan maha rumit ini. Selanjutnya, tidak akan seperti ini lagi. Enam bulan ini, sudah cukup menendang saya begitu kerasnya.Ya, saya mendapat nilai kurang untuk subject yang begitu penting untuk saya.(Namun berkat perbaikan dan kemurahan hati guru-guru saya, di nilai raport saya tidak ada angka merah.Tapi, tetap saja buruk, kawan).Nilai-nilai merah pertama sejak saya mengenal kata sekolah dan belajar di dunia ini. Saya terjatuh, tapi muka saya tidak lebam-lebam, masih sempat memberi senyum pada setiap orang yang berpapasan dengan saya. Bila memang peristiwa berdarah ini akan berbuah masam pada lima bulan yang akan datang, saya terus saja percaya bahwa akan selalu ada jalan. Akan selalu ada jalan, yang memang telah dijanjikan.Dijanjikan, dijanjikan dengan sangat pasti.


Semakin mantap rasa yakin saya pada senja terakhir saya di Insan Cendekia pada tahun penuh jalan berbukit ini. Saya diajak seorang teman untuk menghadiri sebuah pertemuan mingguan. Beberapa poin saya catat ketika ustadz saya membahas sebuah ayat yang telah dibaca oleh salah seorang teman, yakni Ali Imran 140.

Sudah menjadi hukum alam bahwa di dunia ini akan terjadi pergiliran kejayaan. Sebagaimana pada waktu yang terdahulu:kaum muslim menang pada perang Badar, kemudian kalah pada perang Uhud, kemudian jaya kembali pada perang-perang selanjutnya.  Saya mencoba merefleksikannya pada diri saya masa-masa ini. Bahwa mungkin saya sedang meniti jalan menurun, atau bahkan menukik. Tapi saya akan mendaki kembali, ketika menurut Allah, saya telah siap mendapatkannya.

Bahwa dinamika itu perlu ada, perlu hadir pada seseorang, sekali waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar