Pages

Selasa, 06 November 2012

Tamasya Kota Hujan Foranza


       Penghabisan Oktober yang lalu, generasi ke-16 Insan Cendekia Serpong−ForanzaSillnova bertamasya ke Kota Bogor. Bukan tamasya dalam artian sebenarnya, namun lebih kepada menambah wawasan di luar kelas. Wawasan yang baru-baru ini sedang ramai dibicarakan:perhatian umat manusia terhadap lingkungan hidup. Atau yang lebih umum dipublikasikan dengan PKLH (Pendidikan Kepedulian Lingkungan Hidup) di sekolah saya, Insan Cendekia Serpong. Pada hari-hari kemarin kami diberi ‘kerjaan’ oleh Pak Japar&Bu Rene−pembimbing PKLH kami−untuk menyulap plastik-kaleng-kertas-stereofoam-atau apa pun yang pantas didaur ulang menjadi barang yang lebih bernilai, setidaknya membuat satu alasan agar barang tersebut tidak terdiam begitu saja di tempat sampah. Namun bagai gerimis datang di musim kering, senang rasanya saat kami diajak oleh beliau-beliau untuk jalan-jalan ke Kota Hujan.
       Barangkali telah didesain dengan baik oleh bapak-ibu guru, seluruh siswa sudah diminta berada di lapangan futsal(baca:upacara) pada pukul 6, namun bus berpacu baru satu jam setelahnya. Satu jam tersebut kami isi dengan mendengarkan beberapa kalimat dari orang nomor satu di Insan Cendekia, bercengkerama sejenak, ataupun menunggu dengan tidak sabar, duduk di dalam bus.

       Di luar dugaan saya, perjalanan hanya memakan waktu satu seperenam jam:entah karena sopir yang begitu profesional, jalanan yang lengang, atau jarak Serpong-Bogor telah diperpendek oleh seseorang. Namun yang terpenting, kami mencapai destinasi pertama dan utama kami dengan selamat-Alhamdulillah.
Pukul 08.10 waktu Indonesia di jam tangan saya, kami telah sampai di SMA Plus YPHB( Yayasan Persaudaraan Haji Bogor). Sedikit berkenalan, SMA bentukan yayasan alumni jamaah haji se-kota Bogor ini tergolong senior dalam hal pengelolaan lingkungan hidup. Banyak penghargaan telah disandang olehnya. Pantas saja, pengelolaan lingkungan menjadi perhatian utama di sekolah ini, yang dibuktikan dengan beberapa kebijakan pihak eksekutif sekolah yang sedikit banyak ‘berbau’ lingkungan. Sekolahnya pun cukup bersih, rapi, dan tertata:kebun apotik hidup, green house, lapangan futsal dan basket yang berjajar, kantin sekolah, dst. Kembali ke alur cerita, turun dari bus kami langsung diarahkan menuju GSG-nya YPHB. Di ruangan yang cukup luas memanjang itu, kami berkenalan dengan YPHB lewat beberapa kalimat yang diucapkan oleh perwakilan guru dan tentu saja, paparan mengenai program serta kegiatan pengelolaan lingkugan di sana.
        Puas mendengar briefing, akhirnya kami diijinkan berkeliling. Kami dipisahkan berdasar kelas, secara bergiliran mengunjungi ‘pos-pos’ yang telah mereka persiapkan. Namun pada intinya, saya pribadi senang karena pada saat itu saya bisa jalanjalan-liatliat-cobacoba-icipicip.Tuan rumah menyiapkan stand-stand yang ditunggu oleh anak-anak kelas XI. Dari stand-stand ini, kami mendapat banyak pengetahuan baru.Kami berkenalan dengan media tanam terarium dan pupuk kulit telur, bagaimana membuat briket dan biopori, menyulap bungkus kopi menjadi hiasan yang menarik, hingga membuat lilin aromatheraphy dengan larutan asam stearatyang suatu saat nanti saya akan mencoba mempraktekkannya sendiri. Sempat juga kami mencicipi jamu kunyit asamhanya sebagian dari kami, karena memang mereka tidak menyediakan cukup banyak botol jamu untuk kami. Dan setidaknya, penjelasan dari beberapa teman baru kami ini cukup mampu membuka mata kami akan pentingnya kesadaran lingkungan sejak usia muda.
        Bukan hanya stand yang kami jelajahi beramai-ramai, kami juga berkesempatan menyambangi Bank Sampah­−terdengar aneh, Green House, dan Kebun Apotek Hidup. Di pojok areal sekolah terdapat sebuah ruangan mungil yang berfungsi sebagai mesin pencacah sampah organik kering, yang di sampingnya terdapat tiga buah kotak:penampung sampah organik, sampah yang telah dicacah, dan sampah yang telah dicampur kotoran kambing milik tetangga YPHB yang kebetulan seorang peternak. Butuh kira-kira 2 minggu lamanya agar pupuk kompos ini bisa dikemas dan dijual bebas seharga 5 ribu rupiah setiap bungkusnya. Kemudian di sekitarnya, terdapat banyak tong plastik biru tua berkeran yang tidak lain adalah komposter penghasil pupuk padat dan cair hasil fermentasi sampah daun dan ranting.

        Target jelajah kelompok saya selanjutnya adalah Green House YPHB. Tertata rapi, terasa sejuk, dan menyegarkan pikiran−saat kami melihat hijau dedaunan yang sedang nagkring di atas pot-pot plastic hitam. Bapak penjaga bercerita bahwa green house ini dinobatkan sebagai green house sekolah terbaik di kota Bogor. Beliau pun sempat menunjukkan beberapa tanaman langka koleksi green house ini. Satu lagi catatan untuk green house ini adalah tanahnya yang dipenuhi batu-batu kecil−bukan paving block seperti sekolah saya, semakin menambah ke-natural-an green house ini. 
 
        Hal kurang beruntung yang menimpa saya dan kelompok saat itu adalah ketika kami tidak berkesempatan mengunjungi Kebun Apotik Hidup karena terbatasnya waktu. Namun tidak jadi soal buat saya dan Jaisyi, kami berdua berjalan cepat untuk melihat sekilas kebun kecil yang berada di samping Lapangan Basket. Sekedar mengambil foto untuk laporan terbeban pada kami dan merasakan kerindangan pohonnya barang sejenak.
        Semua bagian yang berbau lingkungan hidup pun telah rampung kami jelajahi. Sekitar pukul 11 kami berkumpul di samping lapangan untuk menutup kunjungan di sana:seremoni tukar-menukar cenderamata serta ucapan terima kasih.”Ke Bekasi sama Babe…Makasih Ye Pe Ha Be…” ucapan terima kasih khas ForanzaSillnova (yang banyak didominasi oleh “makan nasi” dan “ke bekasi”) tersebut cukup membuat tuan rumah kami berdecak kagum dan tak mau mengalah. Mereka pun mencoba mengimbangi:”Burung Cenderawasih dari Irian Jaya…Makasih Insan Cendekia…”. Haha, lumayan lah (meski saya sendiri agak bingung, harusnya kan tamu yang berterima kasih, kenapa tuan rumah kami ini berterimakasih?). Tidak ketinggalan “salam perpisahan” pelengkap s­ebuah kunjungan: foto bersama!

        Hari belum genap berlalu separuh bagian, kami pun telah meninggalkan YPHB, dan beralih ke Kebun Raya Bogor. Hanya setengah jam perjalanan dengan kecepatan biasa untuk sampai di gerbang utama Kebun Raya Bogor. Kami berjalan masuk beberapa ratus meter untuk mencapai masjid. Foranza menuju masjid yang besar, sementara Sillnova menuju mushola kecil yang tidak jauh dari masjid. Setelah sembahyang dzuhur usai, kami bebas berjalan ke mana saja kita mau, dengan satu syarat:tidak berdua-duaan.Atas perkataan Abah Fikri, saya mengapresiasi.Dalam penafsiran saya pribadi, Abah Fikri tidak melarang adanya ketertarikan alamiah yang muncul tak diundang−meski kadang diharapkan, tapi ayahanda kami ini hanya tak ingin ada anaknya yang terurai mendahului yang lain. Bagi beliau−juga kami, seratus enam belas adalah angka yang berarti dalam hidupnya.
        Tentu saja kami tak ingin kehilangan momen JalanjalanForanza kali ini. Ada yang menuju jembatan gantung, mengagumi anggrek di taman, bercengkerama di bawah teduhan pohon, berfoto levitasi, merebahkan tubuhnya di padang hijau yang luas, ataupun duduk santai menikmati suasana terik di depan kolam. Saya menyaksikan banyak rasa bahagia yang tercipta di sana, di momen itu.

        Waktu bebas habis, pukul dua siang Abah Fikri mengumpulkan kami­−yang ada akhirnya saya tahu, adalah untuk sebuah “rencana jahat” pada dua teman kami yang hari itu merupakan hari spesial bagi mereka:ulang tahun. Memang pada waktu bebas, saya melihat Retas, Bastomi, Fakhri, dan kroni-kroninya sedang mengendap-ngendap sambil menenteng ember penuh berisi air kolam ikan.Rencananya pun terbilang sederhana:kami memainkan sebuah game yang melibatkan seluruh Foranza(tanpa Sillnova, mereka hanya duduk melihat, memperhatikan dengan baik:−), lalu ketika game tengah berlangsung, “Pasukan Pengguyur” langsung belari menuju Rowi yang sedang asyik dan Fitri yang sedang duduk santai. Dan..Taraa! air kolam terguyurkan dengan sukses.
        Belum selesai. Adalah hal yang mengejutkan ketika Rowi dilempar paksa ke kolam teratai dengan sebuah modus operandi yang cukup professional:Retas mengajak “Pasukan Pengguyur” agar meminta maaf pada Rowi, yang ternyata malah membopong paksa, berlari beberapa langkah, dan melemparkannya ke kolam kotor itu. Tak terbayangkan betapa terkejutnya teman kami yang satu ini. Bapak-Ibu guru pun hanya semakin tersenyum ketika mendapati siswa pecinta hewannya itu begitu menderita, sambil tertawa, sedang berbasah-basahan.
        Tapi perlu diketahui, bahwa ForanzaSillnova adalah angkatan yang “penyayang”. Kami tidak membiarkan kedua target operasi menggigil sepanjang perjalanan dan jadi bahan tertawaan. Teman saya telah membawakan baju kotak-kotak biru dengan celana training merah menyala untuk Rowi, dan setelan berwarna merah-kuning-hijau untuk teman perempuan saya yang pendiam ini. Ya, sangat sangat begitu tidak matching. Tinggal digantung di tiang besi, jadilah lampu lalu lintas yang berdiri membisu di jalan raya. Haha. Angkatan saya ini, benar-benar penyayang, bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar