Penghabisan
Oktober yang lalu, generasi ke-16 Insan Cendekia
Serpong−ForanzaSillnova
bertamasya ke Kota Bogor. Bukan tamasya dalam artian sebenarnya,
namun lebih kepada menambah wawasan di luar kelas. Wawasan yang
baru-baru ini sedang ramai dibicarakan:perhatian umat manusia
terhadap lingkungan hidup. Atau yang lebih umum dipublikasikan dengan
PKLH (Pendidikan Kepedulian Lingkungan Hidup) di sekolah saya, Insan
Cendekia Serpong. Pada hari-hari kemarin kami diberi ‘kerjaan’
oleh Pak Japar&Bu Rene−pembimbing PKLH kami−untuk menyulap
plastik-kaleng-kertas-stereofoam-atau apa pun yang pantas didaur
ulang menjadi barang yang lebih bernilai, setidaknya membuat satu
alasan agar barang tersebut tidak terdiam begitu saja di tempat
sampah. Namun bagai gerimis datang di musim kering, senang rasanya
saat kami diajak oleh beliau-beliau untuk jalan-jalan ke Kota Hujan.
Barangkali
telah didesain dengan baik oleh bapak-ibu guru, seluruh siswa sudah
diminta berada di lapangan futsal(baca:upacara) pada pukul 6, namun
bus berpacu baru satu jam setelahnya. Satu jam tersebut kami isi
dengan mendengarkan beberapa kalimat dari orang nomor satu di Insan
Cendekia, bercengkerama sejenak, ataupun menunggu dengan tidak sabar,
duduk di dalam bus.
Di
luar dugaan saya, perjalanan hanya memakan waktu satu seperenam
jam:entah karena sopir yang begitu profesional, jalanan yang lengang,
atau jarak Serpong-Bogor telah diperpendek oleh seseorang. Namun yang
terpenting, kami mencapai destinasi pertama dan utama kami dengan
selamat-Alhamdulillah.
Pukul
08.10 waktu Indonesia di jam tangan saya, kami telah sampai di SMA
Plus YPHB( Yayasan Persaudaraan Haji Bogor). Sedikit berkenalan, SMA
bentukan yayasan alumni jamaah haji se-kota Bogor ini tergolong
senior dalam hal pengelolaan lingkungan hidup. Banyak penghargaan
telah disandang olehnya. Pantas saja, pengelolaan lingkungan menjadi
perhatian utama di sekolah ini, yang dibuktikan dengan beberapa
kebijakan pihak eksekutif sekolah yang sedikit banyak ‘berbau’
lingkungan. Sekolahnya pun cukup bersih, rapi, dan tertata:kebun
apotik hidup, green house, lapangan futsal dan basket yang berjajar,
kantin sekolah, dst. Kembali ke alur cerita, turun dari bus kami
langsung diarahkan menuju GSG-nya YPHB. Di ruangan yang cukup luas
memanjang itu, kami berkenalan dengan YPHB lewat beberapa kalimat
yang diucapkan oleh perwakilan guru dan tentu saja, paparan mengenai
program serta kegiatan pengelolaan lingkugan di sana.
Puas
mendengar briefing, akhirnya kami diijinkan berkeliling. Kami
dipisahkan berdasar kelas, secara bergiliran mengunjungi ‘pos-pos’
yang telah mereka persiapkan. Namun pada intinya, saya pribadi senang
karena pada saat itu saya bisa
jalanjalan-liatliat-cobacoba-icipicip.Tuan
rumah menyiapkan stand-stand yang ditunggu oleh anak-anak kelas XI.
Dari
stand-stand ini, kami mendapat banyak pengetahuan baru.Kami
berkenalan dengan media tanam terarium dan pupuk kulit telur,
bagaimana membuat briket dan biopori, menyulap bungkus kopi menjadi
hiasan yang menarik, hingga membuat lilin aromatheraphy dengan
larutan asam
stearat−yang
suatu saat nanti saya akan mencoba mempraktekkannya sendiri.
Sempat
juga kami mencicipi jamu kunyit asam−hanya
sebagian dari kami, karena memang mereka tidak menyediakan cukup
banyak botol jamu untuk kami.
Dan
setidaknya,
penjelasan dari beberapa teman baru kami ini cukup mampu membuka mata
kami akan pentingnya kesadaran lingkungan sejak usia muda.
Bukan
hanya stand yang kami jelajahi beramai-ramai, kami juga berkesempatan
menyambangi Bank Sampah−terdengar aneh, Green House, dan Kebun
Apotek Hidup. Di pojok areal sekolah terdapat sebuah ruangan mungil
yang berfungsi sebagai mesin pencacah sampah organik kering, yang di
sampingnya terdapat tiga buah kotak:penampung sampah organik, sampah
yang telah dicacah, dan sampah yang telah dicampur kotoran kambing
milik tetangga YPHB yang kebetulan seorang peternak. Butuh kira-kira
2 minggu lamanya agar pupuk kompos ini bisa dikemas dan dijual bebas
seharga 5 ribu rupiah setiap bungkusnya. Kemudian di sekitarnya,
terdapat banyak tong plastik biru tua berkeran yang tidak lain adalah
komposter penghasil pupuk padat dan cair hasil fermentasi sampah
daun dan ranting.
Target
jelajah kelompok saya selanjutnya adalah Green House YPHB. Tertata
rapi, terasa sejuk, dan menyegarkan pikiran−saat kami melihat hijau
dedaunan yang sedang nagkring di atas pot-pot plastic hitam. Bapak
penjaga bercerita bahwa green house ini dinobatkan sebagai green
house sekolah terbaik di kota Bogor. Beliau pun sempat menunjukkan
beberapa tanaman langka koleksi green house ini. Satu lagi catatan
untuk green house ini adalah tanahnya yang dipenuhi batu-batu
kecil−bukan paving block seperti sekolah saya, semakin menambah
ke-natural-an green house ini.
Hal
kurang beruntung yang menimpa saya dan kelompok saat itu adalah
ketika kami tidak berkesempatan mengunjungi Kebun Apotik Hidup karena
terbatasnya waktu. Namun tidak jadi soal buat saya dan Jaisyi, kami
berdua berjalan cepat untuk melihat sekilas kebun kecil yang berada
di samping Lapangan Basket. Sekedar mengambil foto untuk laporan
terbeban pada kami dan merasakan kerindangan pohonnya barang sejenak.
Semua
bagian yang berbau lingkungan hidup pun telah rampung kami jelajahi.
Sekitar pukul 11 kami berkumpul di samping lapangan untuk menutup
kunjungan di sana:seremoni tukar-menukar cenderamata serta ucapan
terima kasih.”Ke Bekasi sama Babe…Makasih Ye Pe Ha Be…”
ucapan terima kasih khas ForanzaSillnova (yang banyak didominasi oleh
“makan nasi” dan “ke bekasi”) tersebut cukup membuat tuan
rumah kami berdecak kagum dan tak mau mengalah. Mereka pun mencoba
mengimbangi:”Burung Cenderawasih dari Irian Jaya…Makasih Insan
Cendekia…”. Haha, lumayan lah (meski saya sendiri agak bingung,
harusnya kan tamu yang berterima kasih, kenapa tuan rumah kami ini
berterimakasih?). Tidak ketinggalan “salam perpisahan” pelengkap
sebuah kunjungan: foto bersama!
Hari
belum genap berlalu separuh bagian, kami pun telah meninggalkan YPHB,
dan beralih ke Kebun Raya Bogor. Hanya setengah jam perjalanan dengan
kecepatan biasa untuk sampai di gerbang utama Kebun Raya Bogor. Kami
berjalan masuk beberapa ratus meter untuk mencapai masjid. Foranza
menuju masjid yang besar, sementara Sillnova menuju mushola kecil
yang tidak jauh dari masjid. Setelah sembahyang dzuhur usai, kami
bebas berjalan ke mana saja kita mau, dengan satu syarat:tidak
berdua-duaan.Atas perkataan Abah Fikri, saya mengapresiasi.Dalam
penafsiran saya pribadi, Abah Fikri tidak melarang adanya
ketertarikan alamiah yang muncul tak diundang−meski kadang
diharapkan, tapi ayahanda kami ini hanya tak ingin ada anaknya yang
terurai mendahului yang lain. Bagi beliau−juga kami, seratus enam
belas adalah angka yang berarti dalam hidupnya.
Tentu
saja kami tak ingin kehilangan momen JalanjalanForanza
kali ini. Ada yang menuju jembatan gantung, mengagumi anggrek di
taman, bercengkerama di bawah teduhan pohon, berfoto levitasi,
merebahkan tubuhnya di padang hijau yang luas, ataupun duduk santai
menikmati suasana terik di depan kolam. Saya menyaksikan banyak rasa
bahagia yang tercipta di sana, di momen itu.
Waktu
bebas habis, pukul dua siang Abah Fikri mengumpulkan kami−yang
ada akhirnya saya tahu, adalah untuk sebuah “rencana jahat” pada
dua teman kami yang hari itu merupakan hari spesial bagi mereka:ulang
tahun. Memang pada waktu bebas, saya melihat Retas, Bastomi, Fakhri,
dan kroni-kroninya sedang mengendap-ngendap sambil menenteng ember
penuh berisi air kolam ikan.Rencananya pun terbilang sederhana:kami
memainkan sebuah game yang melibatkan seluruh Foranza(tanpa Sillnova,
mereka hanya duduk melihat, memperhatikan dengan baik:−), lalu
ketika game tengah berlangsung, “Pasukan Pengguyur” langsung
belari menuju Rowi yang sedang asyik dan Fitri yang sedang duduk
santai. Dan..Taraa! air kolam terguyurkan dengan sukses.
Belum
selesai. Adalah hal yang mengejutkan ketika Rowi dilempar paksa ke
kolam teratai dengan sebuah modus operandi yang cukup
professional:Retas mengajak “Pasukan Pengguyur” agar meminta maaf
pada Rowi, yang ternyata malah membopong paksa, berlari beberapa
langkah, dan melemparkannya ke kolam kotor itu. Tak terbayangkan
betapa terkejutnya teman kami yang satu ini. Bapak-Ibu guru pun hanya
semakin tersenyum ketika mendapati siswa pecinta hewannya itu
begitu menderita, sambil tertawa, sedang berbasah-basahan.
Tapi
perlu diketahui, bahwa ForanzaSillnova adalah angkatan yang
“penyayang”. Kami tidak membiarkan kedua target operasi menggigil
sepanjang perjalanan dan jadi bahan tertawaan. Teman saya telah
membawakan baju kotak-kotak biru dengan celana training merah menyala
untuk Rowi, dan setelan berwarna merah-kuning-hijau untuk teman
perempuan saya yang pendiam ini. Ya, sangat sangat begitu tidak
matching. Tinggal digantung di tiang besi, jadilah lampu lalu lintas
yang berdiri membisu di jalan raya. Haha. Angkatan saya ini,
benar-benar penyayang, bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar