Bagaimana rasanya jika
kita terpaksa berkutat pada satu hal yang sama untuk waktu yang lama? Atau
mungkin ketika pikiran kita dikerjapaksakan tanpa henti siang dan malam?
Tentulah semua mengangguk sepakat bahwa hal itu akan membuat psikis kita mati
rasa.
Saya tak bisa
membayangkan apa jadinya jika seorang pelari marathon tidak melambatkan larinya
sejenak untuk meneguk beberapa mili air, sepak bola yang dipertandingkan tanpa
turun minum, atau pada hal lain, ketika Almarhum WS Rendra membacakan syair
baladanya yang berlembar-lembar tanpa ada jeda pada tiap barisnya. Ya, segala hal yang monumental membutuhkan jeda
agar ia berjalan dengan baik.
Rasa-rasanya logika
sederhana ini klop dengan kondisi Foranza
Sillnova sekarang. Pekan-pekan
kronis tanpa toleransi belum sampai separuh terlewati terhitung sejak Ujian
Praktik dimulai. Namun rasa jengah di pikiran teman-teman nampaknya telah terdeteksi.
Maka, mencari jeda di salah satu di salah dua pulau di Kepulauan Seribu adalah
sebuah keputusan yang tidak salah. Unfasten
your life belt , pesan Windy Ariestanty dalam bukunya Life Traveler.
Rabu-lima hari sebelum Maret berakhir, Foranza Sillnova bersama guru-guru
tersayang bertamu ke Pulau Rambut
dan Pulau Untung Jawa yang kabarnya
punya ramuan anti bosan:D. Saat itu bayangan mentari belum genap satu tombak,
kami sudah berbondong masuk dalam bus Symphonie untuk dua jam perjalanan menuju
Pantai Tanjung Pasir di kota
tetangga, Tangerang.
Salah dua orang anak
Foranza sepertinya tengah bernostalgia ketika bus memasuki area Tanjung Pasir.
Kurang lebih 6 bulan yang lalu, keduanya menjalani Ujian Praktik OSN Kebumian
2012. Diketahui, di pantai ini mereka ditugaskan untuk menghitung periode
gelombangair laut, menentukan posisi geografis dengan alat modern, dan
mendeteksi mineral dan sisa makhluk hidup apa saja yang ada di pantai ini.
Telah menjadi satu kenangan berharga bagi mereka meski menurut pengamatan saya,
pantai ini tidak terlalu indah dan menarik. Dari Tanjung Pasir ini, pada pukul
09.05 kami melaut dengan kapal motor berukuran sedang menuju destinasi pertama:Pulau Rambut dengan konservasi burung
lautnya.
![]() |
menuju kapal di Tanjung Pasir |
Yusya memandang laut dengan melankolis |
![]() |
kawanan sampah di tengah lautan |
Cerita kedua, orang-orang
lama berpuluh tahun yang lalu banyak menjumpai bulu burung yang lepas. Terjadi
perdebatan linguistik antara mereka apakah yang bertaburan itu bulu atau
rambut. Akhirnya mereka sepakat untuk menyebutnya rambut sehingga menamakannya
Pulau Rambut (bukankah rambut itu milik Mamalia dan bulu itu milik Aves?).
Versi ketiga, adalah ketika petualang jadul banyak menemukan pohon cemara laut
yang daunnya berbentuk jarum yang rimbun, mirip seperti rambut. Jadilah mereka
menamainya Pulau Rambut. Sampai saat ini pohon-pohon itu masih dapat dijumpai.
![]() |
berfoto bersama "ayah" sebelum berkeliling pulau |
Hampir satu jam saya
menunggu, akhirnya saya bersama rombongan berkeliling kawasan untuk melihat
lebih dekat dan mendapat lebih banyak kisah dari orang lokal. Kali ini saya
ditemani Pak Jaya, seorang jagawana
dari Kementerian Kehutanan yang telah 17 tahun berteman dengan “penghuni asli”
pulau ini: biawak, ular, kepiting dan burung laut.
![]() |
saya dan Pak Jaya |
Di sana kami sempat pula
menaiki menara setinggi 20 meter untuk melihat teritori kekuasaan para kawanan
burung. Dari menara ini, saya melihat Egreta Alba, burung berwarna putih yang
menguasai sebagian besar pulau ini. Sangat kontras dengan Burung Cucuk Besik
Kepala Hitam yang selama 2 tahun terakhir tidak berkembang biak.
Pada satu kesempatan kami
menyempatkan berfoto bersama dengan lanskap pohon besar atas usulan Pak Jaya.
Ternyata saat itu juga kami menerima “serangan
udara” dengan peluru putih susu setengah
padat setengah cair. Ya, burung-burung laut itu sedang buang air berjamaah.
Barangkali mereka merasa terintervensi dengan kedatangan kami, atau malah marah
karena tidak diajak berfoto?haha.
Pukul sebelas tepat, kami
bertolak menuju Pulau Untung Jawa,
dengan nama lawasnya Pulau Amsterdam.
Hanya perlu 8 menit perjalanan santai dengan kapal sedang untuk mencapainya.
Kesan pertama untuk pulau ini:terurus. Memang benar ketika saya diberi tahu
seorang teman bahwa pulau ini menjadi pulau terbersih di antara 342 pulau di Kepulauan Seribu. Namun melihat
realita, saya masih melihat beberapa sampah mengambang di sisi kiri dermaga.
Tidak apalah, saya acuhkan saja.
Ketika mulai
menyusurinya, kesan padat mulai terasa, yakni berjajarnya rumah-rumah warga DKI
yang “terpinggirkan” hingga pindah pulau.
Kami baru memulai aktivitas selepas
makan siang dan ssembahyang Dzuhur. Sasaran pertama:Banana Boat dan Donut Boat!perahu
dari karet yang berbentuk seperti pisang impor supermarket dan donat tanpa
lubang tengah yang ditarik oleh boat kecil
berkecepatan tinggi. Rupiah yang harus dibayarkan sebesar 25 ribu untuk Banana
dan 30 ribu untuk Donut.
Wahana ini menawarkan
sensasi mengebut di tengah lautan yang dibumbui dengan gerakan terlempar karena
boat yang berbelok tajam. Namun kami tak perlu khawatir karena kami memakai
jaket pelampung sebagai penjamin keselamatan. Teman-teman tampaknya begitu
menikmati ini, terdengar dari teriakan mereka saat melaju dengan “pisang”
berkecepatan tinggi. Begitu pun saya. Tetapi tidak untuk Fikri, ketua angkatan
saya. Ia tak benar-benar berlibur karena sibuk mengurusi pembayaran dan mengawasi gelagat teman-teman seangkatan,
kalau-kalau ada yang melampaui batas (beberapa pembaca mungkin tahu maksud
saya).
Ramuan anti bosan kedua
adalah Snorkeling, menikmati
keindahan bawah laut sekitar Pantai
Untung Jawa. Lokasi snorkeling berada sekitar 30 menit berjalan kaki dari
lokasi Banana Boat dan Donut Boat tadi. Sebelum berangkat teman-teman antusias
memakai snorkle, mask, dan fin sebagai
peralatan standar snorkeling dan mendengarkan penjelasan dari pemandu. Namun
tidak semua dari kami berminat untuk Snorkeling. Seperti saya misalnya, yang
mencari persewaan sepeda dan berkeliling pulau ini bersama kawan yang lain.
Jiwa penjelajah saya berteriak. Barangkali saya akan menemukan lebih banyak hal
dengan bersepeda keliling pulau dibanding melihat terumbu dan anemon di pantai.
![]() |
bersiap berangkat menuju "titik lihat" |
Bersama dua orang teman
lainnya saya menelusuri tepi pulau ini. Saya menemukan beberapa kapal nelayan
kapal patroli milik Polisi yang tengah bersandar. Saya juga sempat bersepeda di
bibir pantai tanpa peduli sepeda sewaan saya akan berkarat terkena hempasan air
laut. Biar, sekali ini saja. Haha.
Lebih jauh lagi, di
samping pemukiman penduduk terdapat hutan bakau tidak terlalu luas yang masih
dipertahankan penduduk lokal. Hutan bakau ini sangat mendukung berlangsungnya
proses ekologi dan geomorfologi di pulau tersebut. Semoga saja hutan bakau itu
tetap lestari, selestari keindahan pulau ini.
Untuk fenomena antropologis, menurut saya masyarakat
sekitar lebih dekat dengan kehidupan masyarakat pedesaan bukan pesisir.Saya
menyaksikan beberapa anak bermain layangan warna-warni yang ketika saya tanya,
adalah buatan tangan mereka sendiri. Kemudian juga anak-anak kecil yang sedang
berburu burung dengan memasang jebakan, persis yang saya jumpai di
kampung-kampung di Jawa Tengah.
Namun sejujurnya tetap
ada rasa penasaran saya pada teman-teman yang memutuskan untuk Snorkeling. Maka
saya bersama klub sepeda dadakan pun menghampiri mereka di lokasi snorkeling.
Karena saya memutar, lokasi Snorkeling terkesan jauh. Beberapa bapak-ibu guru
hanya melihat dari kejauhan, anak-anak mereka yang tengah buncah melihat
kepiting, teripang, dan karang aneka warna. Saya menghampiri sebentar seorang
teman dan bertanya kesannya tentang wahana ini. Ia pun menangkap satu hikmah,
“kadang lo sebenernya melihat sesuatu di depan mata lo, tapi ngga bisa lo
dapetin.” Hal ini mungkin dapat dikorelasikan dengan target jangka pendek,
takdir, atau yang lebih melankolis:cinta.
Karena sifatnya yang short trip, maka saat hari mulai
menyenja kami bersiap mohon diri untuk kembali ke kampus tercinta. Sekitar
pukul 3 sore, kami berbilas dengan air seadanya. Oh ya, yang lucu dari pulau
ini adalah ketika berbilas. 3 ribu
rupiah bukan sekali mandi, tapi untuk 1 ember ukuran sedang air bersih-tawar.
Sehingga sikap cerdik bijaksana saya diuji, agar cukup menghabiskan 1 ember air
saja. Sebab yang paling logis dari segi keilmuan adalah karena sulitnya membuat
sumur yang murni air tawar di pulau kecil seperti Untung Jawa yang hanya seluas
40 hektar. Inklusi air laut
disinyalir akan lebih banyak dari pada aliran air tanah di akuifer sehingga
membuat pulau ini miskin air bersih.
Sambil menunggu yang lain
berkemas, beberapa teman mencari kesibukan lain. Beberapa teman pergi ke warung
memenuhi hasrat kulinernya, bersepeda ria, membeli souvenir, berfoto dengan
lanskap pantai yang bersiap pasang karena hari akan memasuki kala senja.
Sebagian kecil ada yang mengemasi “oleh-oleh yang bisa bernapas”. Ya, beberapa
teman membawa kepiting kecil, umang, dan timun laut yang entah nanti akan
diapakan. Setidaknya hasrat berburu mereka terpenuhi dan tidak perlu
mengeluarkan rupiah selembar punJ.Perjalanan ini nampaknya adalah juga sebuah kado sweet seventeen untuk seorang teman kami, Fadhil. Didandani
teman-teman dengan pakaian yang mencolok dan topi ultah mungil.
Pukul 4 lewat seperempat,
kami bergegas kembali ke daratan. Saya sengaja memilih duduk di pucuk kapal
agar bisa merasakan angin laut senja yang bertiup pelan satu arah dengan gerak
kapal.
![]() |
foto bersama, agenda wajib jalan-jalan Foranza |
Hari itu, Foranza
Sillnova telah menemukan setitik jeda. Daun yang semula lusuh telah tersegarkan
kembali dengan air sejuk perjalanan. Foranza telah siap berfotosintesis
kembali.