Pages

Jumat, 29 Maret 2013

Setitik Jeda di Untung Jawa


Bagaimana rasanya jika kita terpaksa berkutat pada satu hal yang sama untuk waktu yang lama? Atau mungkin ketika pikiran kita dikerjapaksakan tanpa henti siang dan malam? Tentulah semua mengangguk sepakat bahwa hal itu akan membuat psikis kita mati rasa.

Saya tak bisa membayangkan apa jadinya jika seorang pelari marathon tidak melambatkan larinya sejenak untuk meneguk beberapa mili air, sepak bola yang dipertandingkan tanpa turun minum, atau pada hal lain, ketika Almarhum WS Rendra membacakan syair baladanya yang berlembar-lembar tanpa ada jeda pada tiap barisnya. Ya, segala hal yang monumental membutuhkan jeda agar ia berjalan dengan baik.

Rasa-rasanya logika sederhana ini klop dengan kondisi Foranza Sillnova sekarang. Pekan-pekan kronis tanpa toleransi belum sampai separuh terlewati terhitung sejak Ujian Praktik dimulai. Namun rasa jengah di pikiran teman-teman nampaknya telah terdeteksi. Maka, mencari jeda di salah satu di salah dua pulau di Kepulauan Seribu adalah sebuah keputusan yang tidak salah. Unfasten your life belt , pesan Windy Ariestanty dalam bukunya Life Traveler.

Rabu-lima hari sebelum Maret berakhir, Foranza Sillnova bersama guru-guru tersayang bertamu ke Pulau Rambut dan Pulau Untung Jawa yang kabarnya punya ramuan anti bosan:D. Saat itu bayangan mentari belum genap satu tombak, kami sudah berbondong masuk dalam bus Symphonie untuk dua jam perjalanan menuju Pantai Tanjung Pasir di kota tetangga, Tangerang.

Salah dua orang anak Foranza sepertinya tengah bernostalgia ketika bus memasuki area Tanjung Pasir. Kurang lebih 6 bulan yang lalu, keduanya menjalani Ujian Praktik OSN Kebumian 2012. Diketahui, di pantai ini mereka ditugaskan untuk menghitung periode gelombangair laut, menentukan posisi geografis dengan alat modern, dan mendeteksi mineral dan sisa makhluk hidup apa saja yang ada di pantai ini. Telah menjadi satu kenangan berharga bagi mereka meski menurut pengamatan saya, pantai ini tidak terlalu indah dan menarik. Dari Tanjung Pasir ini, pada pukul 09.05 kami melaut dengan kapal motor berukuran sedang menuju destinasi pertama:Pulau Rambut dengan konservasi burung lautnya.


menuju kapal di Tanjung Pasir

Yusya memandang laut dengan melankolis
Laut Jawa adalah kawasan air yang cukup tenang dan tak bergejolak. Kami bertambah beruntung hari itu karena sepertinya cuaca sedang bersahabat. Ditandai dengan banyaknya burung berwarna putih dan hitam bermanuver dan terbang rendah berkonsentrasi untuk menyambar kudapan favoritnya. Namun menjadi catatan penting bagi saya ketika kami semua menjumpai sekawanan SAMPAH yang mengambang pasrah di tengah lautan tenang ini. Pak Bahrul berbincang dengan seorang guru di sampingnya, “Apa tidak ada perahu khusus untuk mmebersihkan sampah-sampah ini?”sebuah pertanyaan protes yang mungkin tak akan digubris andai saja sampai telinga pihak yang bertahta. Wajar saja bagi saya, sebab 13 sungai di Jakarta dan sekitarnya bermuara di perairan utara ini. Tahu sendiri, kan, perlakuan orang-orang masa bodoh pada sampah dan sungai seperti apa?
kawanan sampah di tengah lautan
Dua puluh dua menit melaut, sampailah kita di Pulau Middlebour, nama lawas berian Belanda untuk Pulau Rambut. Setidaknya ada 3 cerita asal usul nama Pulau Rambut ini. Pertama, dahulu kala ada seorang putri sari daerah selatan Pulau Jawa yang melancong ke pesisir utara di daerah DKI Jakarta ini. Karena badai, sanggul(gelungan rambut)nya terdampar di pulau ini sehingga dinamailah Pulau Rambut. 

Cerita kedua, orang-orang lama berpuluh tahun yang lalu banyak menjumpai bulu burung yang lepas. Terjadi perdebatan linguistik antara mereka apakah yang bertaburan itu bulu atau rambut. Akhirnya mereka sepakat untuk menyebutnya rambut sehingga menamakannya Pulau Rambut (bukankah rambut itu milik Mamalia dan bulu itu milik Aves?). Versi ketiga, adalah ketika petualang jadul banyak menemukan pohon cemara laut yang daunnya berbentuk jarum yang rimbun, mirip seperti rambut. Jadilah mereka menamainya Pulau Rambut. Sampai saat ini pohon-pohon itu masih dapat dijumpai.
berfoto bersama "ayah" sebelum berkeliling pulau
Agenda utama Foranza di pulau ini adalah berkeliling kawasan konservasi burung laut. Karena saya masuk dalam kelompok yang berangkat paling akhir, bergabunglah saya dengan seorang teman yang sedang bercengkerama dengan bapak berkaos polo yang mendampingi perjalanan kami. Dari beliau, saya mendapat beberapa informasi. Ternyata, wilayah ini telah mendapat pengakuan internasional. 32 perwakilan negara telah datang ke pulau ini untuk melihat bagaimana 50 jenis burung laut diberi perhatian khusus. Ikon DKI Jakarta, Elang Bondol, juga pernah menetap di pulau ini sebelum akhirnya bermigrasi karena merasa tak betah. Selain itu, pulau ini juga menjadi persinggahan Burung Blewok asal Australia yang setiap 6 bulan berwisata ke habitat kawannya sesama bangau. Ternyata burung juga memiliki budaya silaturrahmi :D .

Hampir satu jam saya menunggu, akhirnya saya bersama rombongan berkeliling kawasan untuk melihat lebih dekat dan mendapat lebih banyak kisah dari orang lokal. Kali ini saya ditemani Pak Jaya, seorang jagawana dari Kementerian Kehutanan yang telah 17 tahun berteman dengan “penghuni asli” pulau ini: biawak, ular, kepiting dan burung laut.
saya dan Pak Jaya
Selama berkeliling, kami menjumpai jejak-jejak kehidupan tuan rumah, seperti lubang bawah Pohon Kepu tempat tuan biawak menaruh telurnya, sarang ular, lubang kepiting, sarang lebah raksasa, dan ratusan sarang burung yang berada di ketinggian. Beberapa kali saya  bertemu dengan biawak secara langsung, seekor kepiting sebesar dua kepalan tangan, dan burung muda di dahan rendah yang belum bisa terbang. Haha, beruntung sekali kami saat itu.
kepiting malu-malu kucing

Di sana kami sempat pula menaiki menara setinggi 20 meter untuk melihat teritori kekuasaan para kawanan burung. Dari menara ini, saya melihat Egreta Alba, burung berwarna putih yang menguasai sebagian besar pulau ini. Sangat kontras dengan Burung Cucuk Besik Kepala Hitam yang selama 2 tahun terakhir tidak berkembang biak.
Egreta Alba, sang penguasa

Pada satu kesempatan kami menyempatkan berfoto bersama dengan lanskap pohon besar atas usulan Pak Jaya. Ternyata saat itu juga kami menerima “serangan udara” dengan peluru putih susu setengah padat setengah cair. Ya, burung-burung laut itu sedang buang air berjamaah. Barangkali mereka merasa terintervensi dengan kedatangan kami, atau malah marah karena tidak diajak berfoto?haha.
 
tetap berfoto meski terkena serangan udara
Pukul sebelas tepat, kami bertolak menuju Pulau Untung Jawa, dengan nama lawasnya Pulau Amsterdam. Hanya perlu 8 menit perjalanan santai dengan kapal sedang untuk mencapainya. Kesan pertama untuk pulau ini:terurus. Memang benar ketika saya diberi tahu seorang teman bahwa pulau ini menjadi pulau terbersih di antara 342 pulau di Kepulauan Seribu. Namun melihat realita, saya masih melihat beberapa sampah mengambang di sisi kiri dermaga. Tidak apalah, saya acuhkan saja.
Ketika mulai menyusurinya, kesan padat mulai terasa, yakni berjajarnya rumah-rumah warga DKI yang “terpinggirkan” hingga pindah pulau. 

Kami baru memulai aktivitas selepas makan siang dan ssembahyang Dzuhur. Sasaran pertama:Banana Boat dan Donut Boat!perahu dari karet yang berbentuk seperti pisang impor supermarket dan donat tanpa lubang tengah yang ditarik oleh boat kecil berkecepatan tinggi. Rupiah yang harus dibayarkan sebesar 25 ribu untuk Banana dan 30 ribu untuk Donut. 
Banana Boat, feel the sensation!
Sillnova ceria

Wahana ini menawarkan sensasi mengebut di tengah lautan yang dibumbui dengan gerakan terlempar karena boat yang berbelok tajam. Namun kami tak perlu khawatir karena kami memakai jaket pelampung sebagai penjamin keselamatan. Teman-teman tampaknya begitu menikmati ini, terdengar dari teriakan mereka saat melaju dengan “pisang” berkecepatan tinggi. Begitu pun saya. Tetapi tidak untuk Fikri, ketua angkatan saya. Ia tak benar-benar berlibur karena sibuk mengurusi pembayaran dan  mengawasi gelagat teman-teman seangkatan, kalau-kalau ada yang melampaui batas (beberapa pembaca mungkin tahu maksud saya).

Ramuan anti bosan kedua adalah Snorkeling, menikmati keindahan bawah laut sekitar  Pantai Untung Jawa. Lokasi snorkeling berada sekitar 30 menit berjalan kaki dari lokasi Banana Boat dan Donut Boat tadi. Sebelum berangkat teman-teman antusias memakai snorkle, mask, dan fin sebagai peralatan standar snorkeling dan mendengarkan penjelasan dari pemandu. Namun tidak semua dari kami berminat untuk Snorkeling. Seperti saya misalnya, yang mencari persewaan sepeda dan berkeliling pulau ini bersama kawan yang lain. Jiwa penjelajah saya berteriak. Barangkali saya akan menemukan lebih banyak hal dengan bersepeda keliling pulau dibanding melihat terumbu dan anemon di pantai. 
bersiap berangkat menuju "titik lihat"
semangat Snorkeling, kawan!

bersepeda ria :)

Bersama dua orang teman lainnya saya menelusuri tepi pulau ini. Saya menemukan beberapa kapal nelayan kapal patroli milik Polisi yang tengah bersandar. Saya juga sempat bersepeda di bibir pantai tanpa peduli sepeda sewaan saya akan berkarat terkena hempasan air laut. Biar, sekali ini saja. Haha.
Lebih jauh lagi, di samping pemukiman penduduk terdapat hutan bakau tidak terlalu luas yang masih dipertahankan penduduk lokal. Hutan bakau ini sangat mendukung berlangsungnya proses ekologi dan geomorfologi di pulau tersebut. Semoga saja hutan bakau itu tetap lestari, selestari keindahan pulau ini.

 Untuk fenomena antropologis, menurut saya masyarakat sekitar lebih dekat dengan kehidupan masyarakat pedesaan bukan pesisir.Saya menyaksikan beberapa anak bermain layangan warna-warni yang ketika saya tanya, adalah buatan tangan mereka sendiri. Kemudian juga anak-anak kecil yang sedang berburu burung dengan memasang jebakan, persis yang saya jumpai di kampung-kampung di Jawa Tengah.

Namun sejujurnya tetap ada rasa penasaran saya pada teman-teman yang memutuskan untuk Snorkeling. Maka saya bersama klub sepeda dadakan pun menghampiri mereka di lokasi snorkeling. Karena saya memutar, lokasi Snorkeling terkesan jauh. Beberapa bapak-ibu guru hanya melihat dari kejauhan, anak-anak mereka yang tengah buncah melihat kepiting, teripang, dan karang aneka warna. Saya menghampiri sebentar seorang teman dan bertanya kesannya tentang wahana ini. Ia pun menangkap satu hikmah, “kadang lo sebenernya melihat sesuatu di depan mata lo, tapi ngga bisa lo dapetin.” Hal ini mungkin dapat dikorelasikan dengan target jangka pendek, takdir, atau yang lebih melankolis:cinta.
mengunjungi teman-teman yang sedang Snorkeling

Karena sifatnya yang short trip, maka saat hari mulai menyenja kami bersiap mohon diri untuk kembali ke kampus tercinta. Sekitar pukul 3 sore, kami berbilas dengan air seadanya. Oh ya, yang lucu dari pulau ini adalah ketika berbilas.  3 ribu rupiah bukan sekali mandi, tapi untuk 1 ember ukuran sedang air bersih-tawar. Sehingga sikap cerdik bijaksana saya diuji, agar cukup menghabiskan 1 ember air saja. Sebab yang paling logis dari segi keilmuan adalah karena sulitnya membuat sumur yang murni air tawar di pulau kecil seperti Untung Jawa yang hanya seluas 40 hektar. Inklusi air laut disinyalir akan lebih banyak dari pada aliran air tanah di akuifer sehingga membuat pulau ini miskin air bersih.

Sambil menunggu yang lain berkemas, beberapa teman mencari kesibukan lain. Beberapa teman pergi ke warung memenuhi hasrat kulinernya, bersepeda ria, membeli souvenir, berfoto dengan lanskap pantai yang bersiap pasang karena hari akan memasuki kala senja. Sebagian kecil ada yang mengemasi “oleh-oleh yang bisa bernapas”. Ya, beberapa teman membawa kepiting kecil, umang, dan timun laut yang entah nanti akan diapakan. Setidaknya hasrat berburu mereka terpenuhi dan tidak perlu mengeluarkan rupiah selembar punJ.Perjalanan ini nampaknya adalah juga sebuah kado sweet seventeen untuk seorang teman kami, Fadhil. Didandani teman-teman dengan pakaian yang mencolok dan topi ultah mungil.
berburu buah tangan

Fadhil yang malang

cenderamata nol rupiah


Pukul 4 lewat seperempat, kami bergegas kembali ke daratan. Saya sengaja memilih duduk di pucuk kapal agar bisa merasakan angin laut senja yang bertiup pelan satu arah dengan gerak kapal.
foto bersama, agenda wajib jalan-jalan Foranza
Hari itu, Foranza Sillnova telah menemukan setitik jeda. Daun yang semula lusuh telah tersegarkan kembali dengan air sejuk perjalanan. Foranza telah siap berfotosintesis kembali.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar