air mata bukanlah lara yang kubesar-besarkan
lara yang deras mendera beriringan dengan gelegar petir
semalaman
adalah rintik-rintik itu yang terus menderu menyerbu
gubuk empat setengah meter yang dibuat ayahku dengan
peluh dan erang
pada petak tanah tak resmi di bantaran kali hitam pekat
kotaku yang ramai
dan aku akan terus saja tercenung dan terngiang
pada tes-tes-tes-tes-tes...tes,
krik...krik...krik...
tes...tes...................................tes..pukul
tiga tadi pagi
sahabatku si jangkrik bersenandung sepi dengan tetes
hujan yang mengena selembar seng karatan di sisi kiri tempat kami terbaring
lalu sejurus, selongsong-selongsong peluru air menyerbu
sekena hati dari satu-satunya daun pintu
yang mampu terpasang di gubuk sekarat
ini
tanpa salam, permisi, atau sekadar mengetuk pintu
berani-beraninya ia masuk rumah kami
ku goyang-goyang saja tubuh bapak agar ia terbangun
segera
"Pak, airnya masuk rumah!"
bapakku bangkit tercekat diam membisu namun terlari-lari
sekenanya
membopong kardus ukuran sedang tanpa meracau sepatah kata
pun
aku segera menggendong Salma yang masih terjaga
terhangatkan jarit
bukan ibu karena ia telah pergi ke dunia entah, sekian
pekan silam
hanya perlu ku biarkan, ku relakan
tak tega berucap pada bapak
tentang dua buku tulis yang tergiring air...ah, tak
terperkirakan jauhnya
tak sampai berucap pada bapak
tentang sebelah sepatu yang disandera deras air
hitam-coklat-pekat
tentang selaksa harapku yang terlarungkan terarak sampah pinggir
kali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar