Pages

Kamis, 07 Februari 2013

Balada Air Hujan


air mata bukanlah lara yang kubesar-besarkan
lara yang deras mendera beriringan dengan gelegar petir semalaman
adalah rintik-rintik itu yang terus menderu menyerbu
gubuk empat setengah meter yang dibuat ayahku dengan peluh dan erang
pada petak tanah tak resmi di bantaran kali hitam pekat kotaku yang ramai

dan aku akan terus saja tercenung dan terngiang
pada tes-tes-tes-tes-tes...tes,
krik...krik...krik...
tes...tes...................................tes..pukul tiga tadi pagi
sahabatku si jangkrik bersenandung sepi dengan tetes hujan yang mengena selembar seng karatan di sisi kiri tempat kami terbaring
lalu sejurus, selongsong-selongsong peluru air menyerbu sekena hati  dari satu-satunya daun pintu yang mampu terpasang di  gubuk sekarat ini
tanpa salam, permisi, atau sekadar mengetuk pintu
berani-beraninya ia masuk rumah kami

ku goyang-goyang saja tubuh bapak agar ia terbangun segera
"Pak, airnya masuk rumah!"
bapakku bangkit tercekat diam membisu namun terlari-lari sekenanya
membopong kardus ukuran sedang tanpa meracau sepatah kata pun
aku segera menggendong Salma yang masih terjaga terhangatkan jarit
bukan ibu karena ia telah pergi ke dunia entah, sekian pekan silam

hanya perlu ku biarkan, ku relakan
tak tega berucap pada bapak
tentang dua buku tulis yang tergiring air...ah, tak terperkirakan jauhnya
tak sampai berucap pada bapak
tentang sebelah sepatu yang disandera deras air hitam-coklat-pekat
tentang selaksa harapku yang terlarungkan terarak sampah pinggir kali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar