“Nyak demon haguk Tanggamus!”
Di
liburan pergantian tahun pelajaran kali ini, saya memutuskan untuk bertualang
ke Pulau Andalas–atau lebih kita kenal
dengan Sumatera, tepatnya di Kabupaten
Tanggamus, Provinsi Lampung. Sebuah kabupaten dengan morfologi yang cukup
menawan:gugusan pantai yang menghadap Samudera Hindia dengan gunung tinggi
menjulang tepat di sampingnya. Di bawahnya terdapat perkampungan dimana teman
saya, M.Yusya Asadillah tinggal bersama sanak keluarganya. Bersama Omi, Faizin,
Nda, dan Tasya, saya memberanikan diri berpetualang ke pulau yang belum pernah
kami pijak sebelumnya. Di perjalanan lintas pulau ini, saya berniat menghapus
semua beban dan kejenuhan yang selama ini bersarang dalam pikiran saya. Menghapus
kenangan yang membuat hidup ini tidak indah untuk dijalani.Juga sebuah lelucon
kecil:membuktikan bahwa Tanggamus yang sering disebut-sebut itu benar-benar ada
dan bukan hanya bualan teman saya yang baik itu.Ketika perjalanan dimulai,
sudah tertancap kuat sebuah harapan dalam benak saya, bahwa nantinya saya akan
menemukan sensasi-sensasi tiada terbayangkan di sana.
Prolog:Yang beroda dan yang tak beroda
Sesuai
perencanaan Yusya sedari awal, kami berangkat dari Kampus Insan Cendekia pada
malam hari, tepat pukul setengah sembilan
malam.Dimulai dengan berjalan kaki menyusuri kampung yang cukup sunyi di depan
kampus, untuk kemudian menunggu angkutan umum di pinggir jalan raya. Rute
keberangkatan kali ini terbilang cukup sederhana:Kampus Insan Cendekia-Pasar
Serpong-Kebon Nanas-Pelabuhan Merak-Bakauheni-Tanggamus.Di Pasar Serpong kami
berhenti sejenak karena ada sedikit keperluan.Sedang di Kebon Nanas kami
transit sebentar di rumah saudara adik kelas kami, Susanto, yang saat itu turut
serta karena memang Tanggamuslah kampung halaman Susanto–kembaran Susanti.Di
Kebon Nanas pula, kami galau(baca:sabar) menanti Bus Arimbi yang mengantar kami
ke Pelabuhan Merak, penghujung barat pulau yang kami huni selama ini.
Perjalanan
tiga jam yang singkat namun cukup melelahkan antara Kebon
Nanas
hingga Merak dari pukul
00.30-03.30 dini hari semakin membuat kami bersemangat saat itu, karena sebentar lagi
kami akan mengarungi lautan lepas! Setelah mampir di Alfamart sejenak sembari
melepas lelah, kami segera membeli tiket seharga Rp11.500, 00.Cukup murah
menurut saya.Tidak sebanding dengan pemandangan yang akan disuguhkan olehnya di
perairan Selat Sunda kelak.Ketika memasuki kapal, beberapa teman meminta
mengambil kelas AC dengan menambah biaya Rp6.500, 00.Permintaan yang bisa
dimengerti ketika kemudian saya mengetahui bahwa bila berada di luar,
kebisingan mesin kapal, hawa panas yang dihasilkan mesin kapal, kokokan ayam
dan embikan kambing (berikut baunya) akan benar-benar mengganggu perjalanan
kami nantinya.Meski pada akhirnya di kelas AC yang kami pilih, para ABK memutar
film jadul yang menurut pemikiran jiwa muda saya merupakan film yang sangat
tidak menarik untuk ditonton.Ya, sangat tidak menarik.
Pagi
menjelang, kami berjamaah salat shubuh di
musholla ala kadarnya di bagian belakang kapal.Sejurus kemudian, saya tidak
kembali ke tempat duduk.Ya, menjamah kapal ini merupakan keputusan yang tepat
untuk ukuran orang yang belum sekalipun menyeberangi pulau dengan kapal.Air
laut yang hijau–pasti banyak ganggangnya!,angin yang lembut mengalir, dan
pemandangan khas Nusantara di lautan lepas:gugusan pulau yang hijau memesona
membuat jiwa kami terbebas, sebebas-bebasnya.Inilah yang saya sebut sensasi
pertama petualangan kami ke Tanggamus.
 |
bagian depan kapal, di Selat Sunda |
Sekitar pukul tujuh pagi kami tiba di Pelabuhan Bakauheni.Sebelum
kami melangkah keluar kapal pun, kami sudah disambut –saya menyebutnya– “mas-mas travel”.Dia menawarkan harga Rp50.000 tiap orang untuk sebuah rute perjalanan Bakauheni-Tanggamus.Menurut
Yusya Sang Tuan Rumah, harga tersebut cukup rasional, maka dari itu kami
langsung mengiyakan.Tancap gaasss!!!
Empat
jam yang cukup melelahkan berlalu, akhirnya kami sampai di kediaman keluarga
Yusya.Hijau, asri, nyaman, dan begitu homey.Kami
disambut dengan hangat oleh anggota keluarga Yusya.Ibunda, adik, kakak, dan
kakek-neneknya.Saat itu ayahandanya sedang tidak ada di rumah karena sedang
bekerja.Di pojok depan rumahnya, ada gudang kecil tempat penyimpanan ikan
asin.Kemudian di sisi sebelah kiri, terpasang spanduk kecil bertuliskan “Terapi
Ion Elektrik”.Keluarga Yusya membuka terapi pengobatan sebagai penghasilan tambahan.
 |
Omi kegirangan dengan ikan pertama (dan terakhir)nya |
Sewajarnya
orang setelah melakukan perjalanan jauh, kami pun beristirahat sejenak di ruang
depan.Karena kedatangan kami memang berdekatan dengan jam makan siang, maka sembari melepas lelah kami menyantap makan siang ditemani sambal dan
ikan asin yang nikmat.Kami juga sempat mencicipi kopi yang disangrai sendiri
oleh Ibunda Yusya(sensasi kopi Lampung
pertama ini membuat saya ketagihan untuk menikmatinya).Menjelang
ashar, Yusya mengajak kami memancing di empang milik saudara, yang tidak jauh
dari rumahnya.Dengan 2 kail milik saudaranya itu, kami berhasil mendapat 4 ekor ikan kecil.Hasil yang tidak buruk untuk seorang amatiran.
Sore
menjelang, Yusya membawa kami berjalan-jalan ke kaki Gunung Tanggamus.Sebagaimana
diceritakan di awal, gunung setinggi 2.100 meter ini berdiri kokoh
berdampingan dengan laut lepas Samudera Hindia yang terlihat cukup tenang saat
itu.Dari halaman depan rumah Yusya, gunung ini terlihat begitu tinggi dengan
beberapa bagiannya tertutup awan Cumulus.Air dari gunung inilah yang mencukupi
kebutuhan air bersih perkampungan di bawahnya.Dingin, segar, menyejukkan, namun
tak sampai membuat ngilu tulang saat tersiram di
badan.
Dengan
dua sepeda motor berwarna merah dan hitam, kami dengan
santainya pergi
menuju kaki gunung di senja
yang berawan saat itu.Dua puluh menit perjalanan berlalu, sepeda motor yang meski masing-masing disesaki 3 orang pun tidak mengalami tantangan yang berarti, melaju perlahan melintasi jalanan naik
turun dan berliku.Namun sesaat kemudian, jalan mulus seketika berubah menjadi jalanan aspal rusak–berbatu–berdebu.Motor
mulai kepayahan mendaki, hingga klimaksnya, motor yang ditunggangi Faizin
“pingsan tak sadarkan diri” ketika menaiki jalan setapak.Terpaksa, kami membantu mendorongnya beberapa meter.Kami bertemu dengan
bapak-bapak penggarap lahan di sana.Berbagai sayuran yang tumbuh subur dan
pohon kakao yang buahnya mulai memerah.Dan ketika matahari mulai terbenam, kami memutuskan untuk kembali ke rumah.
 |
pohon kako(coklat) yang mulai memerah |
Hari ke-2:Asin dan Tawar
Tanggamus
Trip di Senin yang cerah ini berdestinasikan segala yang berhubungan dengan
air.Boleh dibilang, pada hari ini perjalanan yang sebenarnya dimulai.Pukul
08.40 pagi mobil Xenia biru milik tante Yusya melesat cepat menuju arah selatan.Yang
saya herankan, hanya dibutuhkan 50 menit perjalan untuk bisa merasakan sejuk
segarnya deretan pantai di tepi perairan Samudera Hindia ini.
Di
kawasan ini, terdapat sejumlah pantai yang menawarkan pemandangan yang beragam,
yang sampai detik ini saya tidak tahu pasti berapakah jumlah pantai
tersebut.Namun sejauh yang saya tahu, barisan pantai tersebut tergabung dalam
gugusan Teluk Semangka.Pantai pertama yang kami sambangi adalah Pantai Dramaga.Pantai ini adalah pantai yang unik, menurut
saya.Berwujud seperti dermaga dengan jalan beton yang dibangun cukup panjang
menghadap ke laut lepas.Ketika kami berjalan ke
ujung jalan dan menundukkan kepala jauh
ke bawah, kami menjumpai ikan-ikan kecil berwarna-warni berenang kesana-kemari,
soliter maupun berkoloni(membentuk gerombolan).Di pantai ini pula kami jumpai ikan Ciracas yang kami lihat
secara langsung meloncat sejauh 2 meter.Atraksi tak terduga di pagi yang terik,
yang cukup membuat kami berdecak kagum.
 |
pemandangan bawah air Pantai Dramaga |
 |
loncat!!! |
Selanjutnya, Sang Driver yang juga kerabat keluarga Yusya membawa kami kepada pantai
yang berhiaskan batu-batu kecil, yang kali ini saya tidak tahu namanya.Ombak
pantai ini tidak terlalu ganas, setidaknya aman untuk tempat bermain air anak-anak kecil.Di tempat ini , saya sempat mengumpulkan batu-batu
“lucu” dan aneh yang belum pernah saya jumpai di tempat lain. Tidak peduli orang
bilang saya seperti anak kecil.
Jika
di dua pantai sebelumnya kami hanya bermain air–sekadar menyejukkan mata dan
pikiran, maka di pantai ketiga ini kami benar-benar “menjelajahinya”.Ya, berbasah-basahan sepuasnya.Inilah view pantai yang saya cari:pantai bergradasi
indah, kombinasi warna bening cerah air,
selanjutnya hijau muda menyejukkan, dan disambung dengan biru tua yang menyegarkan
mata.Tidak hanya itu, gugusan batu koral berwarna hitam gelap terlihat dari kejauhan yang memecah ombak makin memanjakan mata kami.Di
pinggir pantai, saya menyaksikan hamparan ganggang yang sengaja dijemur oleh
penduduk setempat.Benar saja, setelah saya memberanikan diri berjalan sedikit
ke tengah menuju gugusan koral itu, saya menemukan ganggang yang tumbuh subur melekat di bebatuan koral.Benar-benar mengagumkan.
 |
pantai bergradasi dengan ombak yang tenang |
Hari
beranjak siang, kami memutuskan untuk makan siang di pinggir pantai, tepatnya di
sekitar pepohonan sekitar pantai.Menggelar tikar, menyantap perbekalan yang
telah disiapkan oleh Ibunda Yusya.Hmm, suasana makan siang yang sangat jarang
saya dapatkan.
Teduh. Berangin tenang.
Setelah
pantai ini, kami juga menyempatkan mampir barang sejenak di pantai-pantai yang
lain.Sekedar menikmati panoramanya yang menenangkan pikiran, membiarkan semilir angin pesisir menerpa wajah takjub
kami, ataupun mengumpulkan batu-batu kecil di pinggiran pantai–masih saja.
Masih
soal air.Tujuan kami selanjutnya adalah Air Terjun Way Lalaan.Sebenarnya, bapak
pengemudi yang dengn senang hati menemani kami berpetualang sedikit
mempersoalkan rencana kami yang bersikeras mengunjungi yang memang sudah
tersohor itu.Bukan apa-apa, beliau hanya mengkhawatirkan keselamatan kami.Beliau
bercerita bahwa air terjun tersebut telah banyak menelan korban jiwa.Konon
katanya, di salah satu titik kawasan air terjun tersebut terdapat
turbulensi/pusaran air yang bisa menyerap sesuatu yang berada di
sekitarnya.Perdebatan yang cukup panjang terjadi sebelum akhirnya kami
dibolehkan, dengan catatan tidak sampai “berenang–bermandi ria” di sana.Kami
pun sepakat.Sesampainya di area air terjun, kami hanya cuci muka dan membasahi
kaki tangan dengan air segar yang “terbang” dari atas itu.Menurut sumber yang
terpercaya, “way” dalam bahasa Lampung artinya air, sedang “lalaan” artinya
pedas.Namun setelah saya sambangi langsung, air terjun ini tidak ada
pedas-pedasnya.Mungkin saja, rasa pedas itu hanya ada di spot tertentu.Atau mungkin, rasa pedas itu telah sirna ditelan
usia.Who knows?.Namun selain
tempatnya yang indah, ada satu hal lagi yang menarik perhatian saya, yakni
struktur batuan yang membuat air terjun ini kian cantik.Struktur batuan yang
berbentuk seperti tiang-tiang yang bertumpuk-tumpuk serta lembaran-lembaran
yang bersusun.
 |
Air Terjun Way Lalaan |
Hari 3:Saya pikir ini padang pasir yang basah kuyup…
Tepat
pukul delapan lebih lima puluh enam menit, mobil melaju
kencang menuju Obyek Wisata Batutegi.Obyek wisata yang terkenal
dengan bendungannya,yang merupakan salah satu bendungan
tertinggi di Asia Tenggara.Berupa danau buatan mahaluas yang memotong
“konstelasi” perbukitan bagian timur Kabupaten Tanggamus.Menurut cerita, proses
pembuatan danau ini dalam perjalanannya memakan banyak korban jiwa karena
longsor, yang diakibatkan penggalian tanah yang memotong rangkaian
perbukitan
tersebut.Terdapat 3 alternatif
tempat yang ditawarkan kawasan obyek wisata ini:bendungan, dermaga danau, dan
PLTA.Dan tentu saja, kami tak mau melewatkan satu pun dari
ketiganya.
Bendungan
Batutegi menjadi pilihan pertama kami untuk mengawali petualangan hari ketiga
sekaligus terakhir ini.Dilihat dari kejauhan, bendungan ini tampak begitu besar
dan berdiri kokoh diantara perbukitan yang indah memesona.Namun sayang sekali,
saya hanya bisa bercerita sebatas ini.Petugas bendungan yang terduduk di pos depan melarang kami menjamah
lebih jauh, dengan alasan sedang ada agenda penting yang dikhawatirkan akan
terganggu bila ada pelancong yang masuk.Kami hanya bisa berfoto sebentar di
area luar pagar.Tidak mengapa, masih ada dua tempat lagi.
Beberapa
menit kemudian kami sampai di dermaga danau buatan Batutegi.Fantastis dan
menakjubkan!Itulah kesan pertama yang saya tangkap ketika mulai memasuki areal
dermaga ini.Awalnya saya beranggapan bahwa yang
ada di depan mata saya adalah sebuah danau buatan yang mengering sehingga
dasarnya yang berwarna coklat gelap terlihat jelas, seperti padang pasir yang
basah kuyup.Namun ketika saya menuruni 120 anak tangga menuju pinggiran danau,
saya sadar bahwa anggapan saya salah.Kenyataan yang sesungguhnya terjadi,
wilayah perairan yang sengaja dibuat ini diselimuti oleh ganggang/tanaman air
berwarna hijau tua-coklat kehitaman.Ya, sejak 3 tahun yang lalu, terjadi
deutrofikasi(booming alga) di danau
buatan ini.Hal ini disebabkan oleh terlalu melimpahya pasokan fosfor yang
diangkut aliran air sungai yang menuju danau ini.Pasokan fosfor yang berlebih
ini membuat laju pertumbuhan ganggang meroket tak terkendali hingga detik
ini.Namun terlepas dari itu semua, tempat ini tetap saja mengagumkan.
 |
(terlihat seperti) danau kering |
Ketika
melihat wisatawan lain menaiki perahu motor untuk berkeliling waduk, kami tentu
saja tak mau kalah.Seorang ibu mematok harga Rp10.000, 00 untuk satu orang.Dan kami tak serta merta mengiyakan. Karena dengan kata lain, kami
harus membayar Rp70.000, 00 untuk sekali berkeliling.Selanjutnya kami mencoba
menawar Rp50.000, 00 untuk 7 orang penumpang.Bapak “nahkoda” perahu mengiyakan,
kami pun berlayar.(Belakangan kami tahu bahwa kami sedang beruntung.Karena
biasanya, 1 orang harus membayar Rp10.000, 00 jika ingin menaiki perahu, tanpa
toleransi).
Dalam
imajinasi saya, waduk Batutegi ini lebih terlihat seperti gugusan pulau di
lautan lepas yang saya saksikan
2 hari yang lalu.Gundukan-gundukan tanah berwarna hijau nyaman dipandang, yang
berkas bayangannya terpantul sempurna di perairan danau yang tenang.Kemudian ketika perahu
mendekat ke bukit-bukit mungil itu, saya melihat bekas pohon-pohon yang ditebang dan sengaja dibakar.
 |
cermin datar raksasa |
Pelayaran
usai, sesaat kemudian kami disuguhi fenomena yang sedikit asing di mata
kami:sekelompok bapak-bapak perkasa yang berkubang di samping dermaga sedang
memasukkan berpuluh kilo ganggang ke dalam kotak biruvyang
berukuran kira-kira 2x2 meter dengan jaring di bawahnya.Setelah cukup penuh,
kotak berjaring itu ditarik oleh katrol dengan lintasan bidang miring sejauh
120 anak tangga untuk diangkut ke daratan.Saya pikir, tumbuhan air itu akan
diolah menjadi sesuatu yang bermanfaat. Namun menurut pengakuan salah seorang
bapak yang asyik berkubang tadi,
onggokan itu hanya akan dipindahtempatkan alias dibuang. Coba kita
renungkan, booming alga tersebut
memang mengganggu keseimbangan ekologi perairan, namun setidaknya muncul satu lagi lapangan pekerjaan baru di muka bumi ini.Yes, everything is relative, just like alga in Tanggamus.
 |
melihat bapak-bapak berkubang:) |
Satu
setengah jam kami menghabiskan waktu di sini, kami segera
bertolak ke PLTA Batutegi, untuk melihat bagaimana kekuatan air yang mahadahsyat dapat diubah oleh otak cerdas manusia menjadi energi listrik yang
memiliki kebermanfaatan nyata.Namun apa boleh buat, “sekawanan” petugas keamanan yang bersiaga di depan tidak mempersilakan kami
masuk dengan leluasa.Mereka beralasan bahwa daerah ini “high voltage”(tegangan tinggi), berbahaya.Andaisaja kami sempat membuat surat keterangan palsu
yang mengatasnamakan instansi resmi yang kami ada-adakan, maka petugas pun akan
mempersilakan kami masuk, dengan menyandera surat palsu itu.Sayangnya, dari 8
orang yang berada di dalam mobil tak ada satu pun yang berpikiran sejauh itu, sebelum kami meminta izin masuk.
Matahari
berada tepat di atas kepala kami, itu tandanya jam makan siang datang.Dalam
perjalanan pulang, mobil yang mengantar kami berkeliling merapat sebentar ke
pinggir jalan raya yang lengang untuk menggelar tikar dan makan siang di
sana.Masih sama seperti kemarin, namun kali ini wujud kasih sayang seorang ibunda terungkap dalam sambal teri spesial yang kami santap sampai
habis.Yummy...
Epilog:Berharap semua kan terulang
Sensasi
tak terduga Obyek Wisata Batutegi tadi menutup lembaran kisah
dongeng kami di Tanggamus.26 Juni pukul 5 sore, kami berangkat menuju Pelabuhan
Bakauheni dengan travel car setelah
berpamitan dengan seluruh sanak famili yang kebetulan sedang berada di rumah
Yusya saat itu.Ibunda Yusya membawakan masing-masing 2 bungkus besar kopi khas
Lampung untuk dinikmati di rumah.Dan hati kami pun bersorak.Di
tengah perjalanan, kami sempatkan pula membeli oleh-oleh untuk keluarga
kami.Empat jam perjalanan dengan laju mobil yang cukup cepat, dua jam lamanya
mengarungi Selat Sunda dengan KMP Mufidah membuat energi kami terkuras.Pukul 1
pagi, kami telah menginjakkan kaki di Pulau Jawa.
Masih
terlalu pagi untuk kembali ke kampung halaman, akhirnya kami pun memberanikan
diri untuk menelepon Ibunda Diva Pasha, meminta tolong untuk dijemput dan singgah sejenak di kediaman beliau.Rumah Diva Pasha berada di Cilegon. Butuh
waktu satu jam untuk sampai ke rumahnya yang berada di Komplek PCI, dekat
sekolahnya dahulu, SMPIT Raudhatul Jannah.Baru sekitar pukul sebelas siang,
kami melanjutkan perjalanan pulang ke rumah masing-masing, ke lima kota yang
berbeda.Pulang dengan memori yang tak ternilai, tak terlupakan, tak
tergantikan.
Perjalanan mungkin saja membuatmu lelah.
Perjalanan mungkin saja memaksamu mengucurkan rupiah.
Namun perjalanan akan membuatmu terbebas.
Perjalanan akan membuatmu dewasa.