Pages

Selasa, 23 April 2013

Salak Hiking:No Mercy!

Kerap kali saya lihat, sesaat setelah momen krusial berakhir orang-orang akan berteriak lantang, mengekspresikan kebebasannya atas temali yang membelenggu sekian lama. Namun teriakan itu saya dan beberapa teman coba tahan, dan meneriakkannya di suatu tempat yang tinggi. Dan ternyata yang menjadi pilihan spontan adalah Gunung Salak. Sebuah nama yang berasal dari bahasa Sansekerta, “Salaka” yang artinya Perak. Memangnya ada perak di gunung ini? Ah tidak penting bagi kami.

Preambule

Karena badan masih belum bugar selepas bepergian, saya memutuskan untuk absen dari kondangan dua guru Bahasa Arab saya di Tasikmalaya. Namun paginya selepas Subuh, tiba-tiba saya diajak empat orang teman untuk mendaki Puncak Salak. Saya kaget, tapi langsung mengiyakan untuk berangkat pagi ini. Hitung-hitung pemanasan sebelum pendakian Gunung Gede 27-28 April nanti. Karena menurut praduga saya, gunung ini terkesan lebih easy terlihat dari ketinggian yang hanya 2.210 meter―oh tidak, saya salah dugaan. Cerita berlanjut.

berangkat diiring teman-teman
Persiapan sangat minim. Terlebih dahulu kami mengemasi perbekalan yang telah ada dan  melengkapinya di tengah perjalanan nanti. Beberapa perlengkapan vital telah masuk dalam ransel besar dan carrier. Pukul setengah 9 lebih kami berangkat dan selanjutnya singgah sebentar di Tanah Abang membeli perlengkapan dan logistik. Juga di Bogor, kami istirahat di besar dan masih melengkapi kekurangan yang masih bisa diingat.

Kami baru sampai di basecamp pendakian pukul setengah sembilan malam. Kami langsung melapor pada petugas Taman Nasional Halimun Salak. Peringatan mas-mas cukup membuat muka kami serius. Ia sangat menyarankan untuk tidak langsung menuju puncak pada malam hari. Lebih baik kami mendirikan tenda di hm 24 dan melanjutkan perjalanan esok hari. Oh ya, bagi yang tak paham, hm artinya hectometer(100m). Karena diantara kami belum ada yang berpengalaman mendaki Gunung Salak, mau tak mau kami harus menuruti nasihat mas-mas jagawana. Sekitar pukul 9 malam kami berteriak We are one, for Foranza.We are here, for Foranza. Foranza…Sillnova!.Yak, berangkatlah kami dengan izin-Nya.

Start!

Nol kilometer. Kami langsung disambut trek yang menantang. Lebar jalan yang kami lalui  hanya sekitar satu meter yang pada beberapa bagian telah sengaja diberi bebatuan sebesar dua kepalan tangan. Gelap malam memaksa kami berkonsentrasi pada jarak pandang satu meter di depan kami yang masih bisa diterangi lampu senter mungil murahan. Trek pemanasan ini seolah bertanya, “Kalian benar-benar ingin mendaki Puncak Salak?”, dan tekad bulat menjawab tegas:YA, TENTU SAJA.

Kami berjalan cepat sembari menghitung hm demi hm yang tertera pada pal hijau tertancap pada sisi jalan. Dua koma empat kilometer, satu setengah jam perjalanan. Kami sampai di spot BAJURI dan mendirikan tenda kuning. Sebagai seorang yang paling amatiran diantara yang lain, saya diajari cara mendirikan tenda ini. Cukup simpel.
 
mendirikan tenda di BAJURI

Anomali (calon) Dokter Hewan :D
 

Terjadi sebuah kejanggalan ketika seorang calon dokter hewan, teman saya Rowi yang takut dan menjelek-jelekkan salah satu hewan penghisap darah yang menempel di kaki-kaki kami, Pacet. Seharusnya teman saya ini bersahabat baik dengan semua jenis hewan, hahaha. Kami tidak merasakan sakit sedikit pun, tapi tetap saja darah segar kami berkurang tetes demi tetes dihisap binatang kecil hitam ini.

Kami tidur berdempetan dalam tenda mungil berukuran 2x2 meter, beralaskan matras hitam tipis, sambil memasang alarm Paramore-That’s What You Get pukul 3 pagi. Malam tidak terlalu dingin kami rasakan. Karena memang kami belum benar-benar berada di ketinggian.

Meleset, kami semua baru bangun pukul setengah empat pagi. Segera mengambil air wudhu dari sungai yang kebetulan hanya berjarak  25 meter dari lokasi camp. Lalu sembahyang khusyu dengan duduk dalam tenda, memohon kekuatan dan keselamatan pada Yang Maha Menguasai. Matahari terus beranjak, kami masih harus mengecas energi dengan memasak mie, menyeduh kopi dan coklat panas.

Pada sesi awal ini, kami menyadari bahwa persiapan kami kurang. Tidak ada obat merah dan plester luka untuk kaki kami yang terkena Pacet, sehingga darah di kaki teman saya, Ulum, terus keluar meski cengkeraman Pacet telah dilepaskan. Tidak ada sendok dan pisau untuk memasak.

Ini yang Ekstrim

Pukul setengah delapan kami mulai perjalanan inti yang ekstrim. Perhitungan mulai dari hm nol kembali. Pada hm-hm awal, kami menjumpai banyak medan lumpur yang bisa menghisap kaki hingga selutut. Beruntung, kami tidak terjebak lumpur sadis itu kecuali beberapa bagian sepatu saja yang terbenam. Setengah kilometer telah terlewati, kami memutuskan menaruh beban bawaan dengan menyembunyikan carrier dan tenda pada sisi kanan trek menuju puncak. Kami hanya membawa satu daypack berisi makanan, minuman, atribut angkatan, matras, kompor, dan keperluan penting yang diperlukan. Masih 4,4 kilometer. Perjalanan dilanjutkan.

jeda sejenak, minum air sungai yang segar tanpa rasa
Inilah alasan mengapa kami menyebut gunung ini tidak memberi ampun―no mercy bagi pendakinya. Medan menggila. Kombinasi jalan lumpur, berbatu tajam atau kadang-kadang sebesar teman angkatan saya yang paling jumbo, medan selebar 50 cm yang kanan-kirinya adalah benar-benar tebing curam bukan bohongan, hingga dinding batu berkemiringan 80 derajat yang untuk melintasinya kami harus dibantu dengan tali webbing yang kuat. Sebuah catatan penting, bahwa alas kaki selain sepatu mendaki sangat tidak dianjurkan untuk dipakai! Teman saya Bang Retas menjadi bukti nyata.

lihat kaki si kaos merah.hanya memakai sandal
Ia satu-satunya yang mendaki dengan sandal. Medan ekstrim ini membuat lajunya terhambat. Tak kuat lagi menahan, sandalnya pun putus dan ia harus bertelanjang sebelah kaki. Beruntung pada hm 32 kami menemukan sepasang sandal gunung yang putus sebelah, dan beruntung sandal yang masih bisa dipakai sebelah kiri ketika Retas sebelumnya kaki kirinya tak memakai alas.

Pada hektometer 40-an kami semakin bersemangat jalan cepat. Sempat ragu ketika hm 49 terlewati, kami belum melihat tanda-tanda puncak gunung. Akhirnya sebagai orang yang berada paling depan, ia diperintahkan untuk berlari mengecek apakah kami telah dekat dengan puncak ataukah masih jauh.

We are On the Top!
Teriakan Rowi terdengar, agar kami berjalan lurus dan kami akan mencapai puncak. Kecepatan berjalan semakin tinggi dengan daypack milik Galang tergendong kokoh(saya mendapat giliran terakhir membawa daypack). Dan ternyata puncaknya benar-benar ada. Alhamdulillah, akhirnya kita mencapai Puncak Salak 1.

We are one, for Foranza!

hormat pada Sang Saka Merah Putih
Pandangan pertama saya menerjemahkan, bahwa puncak salak tidak menawarkan view yang menawan, tapi ia menjanjikan medan yang ekstrim dan kesan yang sukar hilang dari ingatan.  Pohon tinggi berbunga merah pudar mendominasi Puncak Salak 1 ini. Beberapa puluh meter dari plang bertuliskan “PUNCAK SALAK I” terdapat beberapa bangunan semi permanen dan makam Embah Gunung Salak yang dibangun dengan sederhana. Tidak ada tanda-tanda pemujaan. Tapi kami juga tak tahu pasti.
i love my earth :)


makam Embah Gunung Salak, tak ada kesan mistis
Karena kekurangan air, kami meminta air tampungan hujan dari bapak-bapak yang sedang duduk bersantai. Bapak yang baik hati membolehkan kami mengambil namun hanya satu botol karena hari-hari ini hujan jarang turun. Setidaknya, kami bisa memasak mi instan dengan air ini. Hanya satu setengah jam kami berada di puncak. Menikmati suasana dengan makan kudapan seadanya:mi, roti tawar, kacang, dan coklat. Lalu sejenak, kami mengecas energi dengan  melelapkan diri barang 10 menit.

charge the energy
Hendak berangkat, kami bertemu dua orang bule bukan penutur Bahasa Inggris. Barangkali Jerman atau Prancis. Dingin. Mereka hanya tersenyum tanpa tegur sapa dengan aroma tubuhnya yang kurang familiar di penciuman kami. Terbiarkan berlalu, kami langsung melanjutkan perjalanan turun dengan setengah berlari. Di tengah perjalanan, hujan turun dan seketika menghambat laju kami yang semula relatif lebih cepat. Kami harus memakai ponco, dan berjalan dengan kecepatan sedang karena jalanan yang semakin licin, terlebih untuk jalan yang menjadi jalur air.

widih ada bule
Sedikit Musibah

Kami terpisah menjadi dua. Terpaut begitu jauh. Retas dan Galang tersesat, keluar dari jalur dan menuruni tebing. Akhirnya mereka diketemukan Rowi sementara saya dan Ulum melanjutkan perjalanan untuk mengecek carrier dan tenda yang pagi tadi kami sembunyikan. Kami sempat bingung mondar-mandir beratus meter, sebelum akhirnya diketemukan.

Gembira rasanya bertemu kembali dengan BAJURI, pos tempat kami mendirikan tenda. Sebentar saja duduk dan menyantap gula jawa, yang terkenal dengan kudapan yang dengan cepat dapat diubah menjadi energi. Kami telah mencapai kilometer 0 terhitung dari puncak gunung, masih ada 25 hm menuju pintu gerbang. Saat hari masih sore seperti ini, trek dapat ditaklukkan dengan sedikit lebih mudah. Terbukti, kami tidak berhenti minum sama sekali dan hanya berhenti untuk mengambil senter yang berangkali dibutuhkan.

Kesudahan Cerita

Pukul lima lebih empat puluh menit. KAMI MENCAPAI KILOMETER NOL.PINTU GERBANG. Menyudahi lelah kami yang sangat. Puji syukur kami panjatkan. Beberes sebentar di warung yang tak jauh dari pintu gerbang, menyantap nasi goreng dan teh hangat, dan membuat kesepakatan: “ Pengen ke Puncak Salak? Jangan ajak gua!”

kondisi pasca pendakian.alhamdulillah masih utuh

melepas lelah dan lapar di warung khas pegunungan
Terima kasih saya ucapkan pada empat partner saya, juga orang-orang yang dengan ikhlas mendoakan keselamatan kami, untuk momen pendakian pertama saya yang sepertinya sulit terlupakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar